Bab 23: Air Mata

209 63 3
                                    

Jasmin yang sempat dinyatakan menghilang, berhasil diketahui keberadaannya berkat pengakuan para penculik. Aris dan Tifa yang sedang dalam perjalanan segera mengganti haluan untuk menyelamatkan Jasmin yang ternyata disembunyikan dalam mobil van putih yang diparkir di antara pohon-pohon rindang, di perkebunan yang sudah lama terbengkalai. Dengan sigap Aris menghubungi polisi untuk mengamankan dua pelaku sebelum membawa Jasmin ke rumah Vina. Dia juga menghubungi taksi online untuk mengantarkan Tifa dan Jasmin, sementara Aris mengikuti mereka dari belakang.

Mereka semua akhirnya berkumpul di ruang tamu rumah Vina. Suasana hangat melingkupi tempat itu. Tifa mengira semuanya telah selesai, mereka menang. Namun takdir berkata lain.

"Jasmin, apa saja yang terjadi kepadamu saat diculik? Hal-hal sekecil pun sangat berharga untuk kami," tanya Aris kepada gadis yang terlihat lelah dan tidak berdaya itu.

Jasmin tidak merespon dan hanya menundukan kepala. Dia tampak tidak ingin menatap siapapun, apalagi setelah kejadian yang baru saja menimpanya. Tapi anehnya, Aris menatap tajam ke arahnya. Bukan sebuah sikap yang tepat diberikan kepada seorang korban penculikan.

Vina yang duduk di sisi Jasmin, mencoba membujuk sahabatnya itu untuk berbicara. "Apa kamu masih merasa kurang nyaman? Mau kuambilkan minum?"

Masih dalam kebisuan, Jasmin menggeleng, lalu mencengkram tangan Vina erat-erat. Terlihat jelas sekali ketakutan yang merayap pada dirinya. Vina mulai mengelus-ngelus punggungnya, meluruhkan tetesan air di mata Jasmin. Sambil mengelap air mata sahabatnya itu, Vina mencoba untuk menarik dan membuang napas dalam-dalam yang berakhir gagal karena napasnya mulai memendek dan bercampur dengan isak tangis.

Pemandangan yang memilukan itu mengetuk hati Eni dan Cony, begitupula Tifa. Namun tiba-tiba, Tifa merasa terganggu dengan sikap Aris yang berdiri tanpa rasa simpati.

Pemuda berambut kelabu itu menggelengkan kepala, kemudian melangkah dan berhenti tepat di depan Jasmin. Dia mendengkus keras, tampak ekspresi jijik di wajahnya. "Mau sampai kapan kamu berakting? Apa dendammu sudah terbalaskan, Jasmin?"

Seketika semua orang membisu. Mereka bisa mendengar dengan jelas pernyataan Aris. Tapi secara tidak sadar, mereka berusaha untuk menyangkalnya.

"A-apa yang kamu bicarakan, Aris? Dendam apa?" tanya Vina dengan wajah yang memucat.

Aris berbicara tanpa menoleh ke orang yang tadi bertanya. Sinar matanya sudah terpaku pada sosok sang biang keladi, pemain belakang yang mengira dia akan terus aman dengan tipu muslihatnya. "Biar aku beritahukan padamu secara singkat. Aku sudah berhasil mendapatkan semua bukti yang masih tersisa, yang tidak berhasil kamu lenyapkan. Persengkokolanmu dengan para penculik, tindakanmu yang sengaja menukar makanan dengan korban pertama, caramu menaruh obat diminuman korban kedua, dan cara kamu membeli dan membawa ular di rumah korban ketiga. Semuanya sudah ada di tanganku, Jasmin. Jadi ... mau sampai kapan kamu menteskan air mata buaya itu?"

Jasmin menelan ludah dan meremas tangan Vina lebih erat lagi, seolah dia ingin mencakarnya. Vina yang masih berusaha mencerna situasi hanya bisa menahan rasa sakit yang ada.

"Kalau kamu tidak mengaku sekarang juga, maka hukuman yang kamu dapatkan akan lebih berat lagi. Ini sebuah tindakan pembunuhan berencana, hukuman mati bisa dijatuhkan kepadamu."

Tifa, Cony, dan Eni cuman bisa diam dan mendengarkan. Walau rasa kemanusiaan dan rasa kasihan masih ada, namun jika mereka ikut campur, maka usaha yang sudah dilakukan mereka lakukan selama ini akan sia-sia saja. Semua nyawa yang sudah melayang itu tidak akan mendapatkan keadilan yang seharusnya.

"Iya, akulah di balik semua kejadian itu. Dan alasannya pasti sudah kamu tahu, kan?" jawab Jasmin sembari mendongakkan kepala dan tersenyum lirih. Kali ini Tifa seperti melihat air mata sesungguhnya, bukanlah kebohongan seperti yang dikatakan oleh Aris.

"Ya ... karena secara tidak langsung, kamu dan teman-temanmu telah membunuh kakak kandungmu."

Vina menoleh cepat ke arah Jasmin, melongo tidak percaya. "Kakak? Kakak siapa?"

Jasmin menghela napas, dia menjawab dengan suara rendah, seolah sedang berbisik. "Kakakku, Vina. Kakak yang ikut bersama ibu kandungku."

"Ba-bagaimana bisa ... bagaimana bisa ini semua berkaitan?"

"Entah, dunia ini sempit, ya. Saking sempitnya, terasa begitu kejam jalan takdir yang ada di dalamnya." Air mata menetes deras di pipi tirus Jasmin dan perlahan membanjiri bajunya yang belum diganti dari kemarin. "Coba saja, kita bertanggung jawab dengan tindakan kita. Pasti tidak akan seperti ini. Coba saja ... mereka bertiga membiarkan aku melapor ke polisi tentang kecelakaan itu. Pasti mereka masih hidup bersama kita."

"Tidak ... tidak mungkin ... uuhhhh ...." Vina memeluk Jasmin dengan erat, bagaikan dirinya tidak ingin dipisahkan lagi dari sahabatnya itu. "Maafkan aku. Maafkan aku. Ini semua karena aku."

Jasmin membalas pelukan itu dan menangis meraung-raung sembari berkata dengan terbata-bata, "Aku yang harusnya meminta maaf. Kamu jadi ketakutan begini gara-gara diriku yang dibutakan akan kebencian. Aku memang marah dan tidak bisa memaafkan dirimu yang telah membunuh kakakku, tapi, di waktu yang bersamaan, aku telah melakukan hal paling jahat yang pernah ada. Aku menjebakmu. Maafkan aku."

Kedua sahabat itu saling meminta maaf, berkali-kali, hingga tidak ada kata-kata yang bisa mereka katakan lagi selain raungan atas dosa yang ada.

Aris yang menyaksikan itu menghela napas dan berjalan mendekati Cony. "Hubungi mereka, dua pelaku sudah mengaku dan siap untuk dibawa ke jalur berikutnya."

Cony mengangguk dan undur diri untuk menelepon pihak berwajib. Dan kasus itu selesai begitu saja, dengan begitu banyak pertanyaan yang menggantung di benak Tifa.

--- --- ---

Sisa satu bab lagi!!!

Gimana, gimana? Ada yang masih bingung kok bisa Jasmin? Hayooo, coba dicari lagi apa saja petunjuk yang bisa mengarah ke dia?

Skuy, komen di sini!

Btw, nanti di bab terakhir bakalan ada survei, sebisa mungkin diikuti yaw! Ini ada kaitannya sama kelanjutan dari seri Pharma. con.

--- --- ---

Author note:

WARNING!

If you reading this story on any other platform OTHER THAN WATTPAD, you will risk of a malware attack. If you wish to read this story safety, read this in THE ORIGINAL web! Please, support the author with some respect.

Thank you,

Hygea Galenica

--- --- ---

PERINGATAN!

Jika Anda membaca cerita ini di platform lain SELAIN WATTPAD, Anda akan berisiko terkena serangan malware. Jika Anda ingin membaca cerita ini dengan aman, bacalah di web ASLI! Tolong, dukung penulis dengan cara yang lebih terhormat.

Terima kasih,

Hygea Galenica

*** *** ***

Pharma.con: Silent Sinner ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang