"Tifa ... kamu tidak apa-apa? Mukamu pucat."
Tifa memandang wajah Cony dengan wajah memelas. "Aku tidak menyangka akan naik bus selama sepuluh jam. Ini keterlaluan."
Belum sempat Cony menjawab, Aris mensikut pundak Tifa--entah sengaja atau tidak--dan berkata, "Kamu kira kita bisa naik pesawat ke sana? Sewa aja sekalian jet pribadi, biar kita bisa sampai di puncak gunung tanpa bersusah payah begini." Aris memijat dahi kepalanya yang berdenyut-denyut akibat mabuk perjalanan.
Tifa ingin sekali meninju Aris, namun niatnya dia urungkan karena cairan asam di lambungnya hampir masuk ke area kerongkongannya. Dia harus menahannya, atau dia akan menyesal dengan dirinya yang berbau amis di antara para penumpang yang lain. Tidak lucu.
"Mau permen? Ini lumayan bisa membuatmu merasa lebih lega." Cony memberikan sebungkus permen berwarna putih yang memiliki rasa mint dan cherry.
"Terima kasih." Tifa mengambilnya, segera membuka bungkus dan melahapnya. Rasa manis dan sensasi dingin memenuhi lidah dan pernapasan Tifa, membuat gadis itu merasa nyaman. Dia pun melanjutkan, "Beneran tidak apa-apa meninggalkan Vina dan Jasmin di kota begitu saja? Bisa-bisa para penculik itu bakalan mengejar mereka lagi."
Aris membalikan badan dan menatap serius ke sepasang mata yang cemas akan keadaan kliennya. "Tidak. Percayalah. Mereka sedang menunggu kita untuk mencari kebenaran."
"Eh? Mereka? Maksudnya, perjalanan kita sesuai dengan keinginan pelaku?"
Kali ini Aris tersenyum miring dan terlihat puas akan rencana yang dia buat. "Ya, semacam itu. kita ikuti saja mau mereka, mengikuti jalan yang ingin mereka tunjukkan kepada kita. Setelah itu, akan kucari celah agar bisa menjeratnya nanti."
Aris mengambil ponselnya dan mencoba mengetik cepat, menulis pesan yang tampaknya dikirimkan ke Eni. Tapi sayanganya sinyal yang dia dapatkan hanya satu batang dan mengakibatkan pesan itu hanya berputar dalam lingkaran yang tidak ada ujungnya.
"Cony, apakah ada tempat yang bagus jaringannya di sekitar sini?" tanya Aris yang langsung dibalas dengan jari telunjuk Cony yang mengarah ke sebuah pohon mangga yang cukup tinggi. "Apa TIDAK ADA tempat yang lebih memungkinkan untuk mendapat sinyal yang lebih AMAN?"
Tifa menahan tawanya dan memilih kabur ke dalam warung kecil tempat peristirahatan para pendaki, sedangkan Cony terus menggoda Aris sampai dia dipaksa untuk memanjat menggantikan sahabatnya itu.
Malam pun tiba dan ketiga muda-mudi itu sampai di depan sebuah gang kecil yang tersembunyi di antara dua bukit yang cukup curam. Tifa dan Cony tampak kebingungan sebab tempat Vina dan teman-temannya mendaki bukan di bukit yang dipenuhi dengan ruamh-rumah semi permanen yang kumuh. Apalagi Aris berjalan berlawanan arah dengan lokasi pendakian.
Setelah berjalan sejauh sepuluh meter, Tifa akhirnya angkat bicara. "Kita sebenarnya mau ke mana? Bukannya ke tempat mendaki Vina? Ke TKP?"
"Tidak. Itu bisa nanti saja. Rencana utama kita adalah untuk pergi ke sini."
"Rencana apa? Cony? Kamu tahu?" Tifa menoleh ke arah pria tinggi berkacamata tebal itu dan mendapati dia menggeleng cepat.
"Tifa ... kamu pasti pernah bertemu dengannya," kata Aris yang tetap berjalan tanpa menoleh ke lawan bicaranya.
"Dengan siapa?"
Aris menghentikan langkahnya tepat di rumah yang letaknya pas di tanjakan. Rumah yang menjorok ke dalam itu memiliki cat biru yang mulai mengkelupas. Pintu kayu tipis yang tampak sudah lapuk akibat terkena air hujan yang mengarah langsung ke teras.
Aris mengetuk pintu dan dalam waktu singkat seorang wanita tua muncul di balik pintu. Tifa mulai mengerti maksud Aris tadi, bahwa dia pasti akan mengenal orang yang akan mereka temui. Dia adalah wanita tua yang Tifa lihat bersama Aris di hari pertama dia memulai semester baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pharma.con: Silent Sinner ✓
Mystery / Thriller[Pemenang Wattys 2019 Kategori Misteri & Thriller] (TAMAT) Terjadi pembunuhan berantai yang menimpa mahasiswa-mahasiswi di Kota Makassar. Benang merah dari seluruh kasus adalah korban saling mengenal, namun sampai sekarang, belum ada yang berhasil m...