Cafe

978 86 8
                                    

Atra tidak pernah menyangka, bahwa sahabatnya sendiri menyukai perempuan yang juga disukainya. Atra tidak menyangka pada akhirnya dia menjadi rival dengan sahabat yang menemaninya dalam suka dan duka.

"Gue suka Kana."

Atra tidak mengerti, dari beberapa orang yang ia curigai kenapa harus lelaki dihadapannya yang menyukai gadisnya.

"Shaka lo udah punya Ele." Atra tidak habis pikir ketua osis yang terkenal ramah ini menyukai Kana. Padahal dia sudah mempunyai pacar bernama Eleanor.

"Gue gak tau Tra. Gue bener-bener suka Kana."

Shaka tampak frustasi di sebrang sana. Mereka sedang berada di rooftop, dengan posisi Atra di ujung pembatas dan Shaka berada di sofa.

"Kenapa harus Kana?"

"Gue tanya. Siapa yang bisa nolak pesona Kana?"

Mengangguk menyetujui pertanyaan Shaka, Atra menghembuskan nafas,
"Gue gak tau harus ngomong apa. Kalau ada Bian, mungkin dia bakal bikin lo mampus."

"Lo kan tau dia juga suka Kana. Kita semua tau. Dia yang paling tulus sama Kana." lanjutnya menatap ke bawah lapangan.

Lelaki berlesung pipit itu memutar-mutar rokok di jarinya. Menatap punggung Atra sulit,
"Makanya Tra, gue bilang ini ke Lo. Kalau bilang ke Bian, gue bisa mampus."

Mau dipikir berkali-kali pun, Atra masih tidak mengerti kenapa mereka harus menyukai gadis yang sama. Perempuan yang bahkan tidak paham apa itu cinta. Benar-benar puncak komedi. Usaha yang Atra lakukan dari kelas 10 saja tidak membuahkan hasil apa-apa. Apalagi Shaka yang mempunyai seorang kekasih. Dari awal juga Shaka sudah salah langkah.

Memikirkan Bian, lelaki itu lebih banyak kesempatan. Tapi Atra tampak tenang. Sebab, gadisnya tidak menyukai orang yang lebih mengandalkan kekerasan. Kana lebih menyukai seseorang yang memakai otak daripada otot.

Tersenyum miring, Atra membalikan badannya menghadap Shaka yang sedang mengepulkan asap di udara.
Ah Atra sepertinya harus lebih banyak berusaha.

🦋🦋🦋🦋

Memainkan pulpen ditangannya. Kana menatap lurus ke papan tulis, lalu melirik kursi dibelakangnya. Orang itu tidak ada. Atra tidak ada dikursinya.

Kemana lelaki itu?

Menggeleng pelan, Kana kembali fokus pada guru yang sedang menerangkan. Kenapa juga dia harus memikirkan spesies bernama Atra tersebut. Membuang waktu dan energi.

Hari ini hari jumat, yang berarti dua hari ke depan merupakan akhir pekan, dimana sekolah diliburkan. Kana mengetuk pulpen di dagunya. Karena hari ini sekolah lebih cepat dipulangkan. Maka bukan masalah membuang waktu diluar rumah.

Kana mengambil handphone di kolong meja. Mengetik beberapa pesan untuk Ruelna, agar gadis itu pulang bersama Uncle Jo. Kana itu suka sendirian, jadi mengajak Ruelna pergi bersama tidak ada dalam daftar to do listnya.

Dua jam dihabiskan untuk mengisi pelajaran terakhir. Akhirnya bel pulang berbunyi. Kana membereskan bukunya dan memasukannya ke dalam tas bergambar kupu-kupu berwarna ungu. Menatap dirinya melalui cermin kecil digenggamannya.

"Masih cantik." Gumamnya pada diri sendiri.

Setelah selesai dengan urusan narsisnya. Langkah kakinya membawa dirinya ke arah parkiran. Sekolah masih ramai dengan murid yang berlalu lalang untuk pulang. Kana memelankan langkahnya. Dia tidak ingin berdesakan. Itu cukup merepotkan.

Sesekali gadis itu tersenyum tipis saat ada yang menyapanya. Membuat mereka yang sedang berjalan pulang terpekik karena senang. Sangat berlebihan. Tapi Kana ikut senang.

Sesampainya di parkiran, Kana langsung masuk ke dalam mobilnya. Menyalakan mobil, lalu mulai melaju dengan kecepatan sedang.

15 menit Kana habiskan untuk berkendara. Akhirnya ia sampai ke tempat tujuan. Cafe dengan suasana tenang. Tempat favorit Kana ketika gadis itu membutuhkan ketenangan.

Ketika dirinya memasuki cafe tersebut, bunyi lonceng terdengar. Tanda ada pengunjung baru masuk. Tersenyum tipis menyapa Ka Ira, pelayan Cafe yang sudah akrab dengannya. Kana memilih tempat duduk di pojok kanan dekat rak buku yang berisi bermacam jenis novel.

Kadang ia berfikir, apakah ada Abel di dunia nyata, pemilik Cafe tempat Amara menghabiskan waktunya. Kisah mereka itu, Kana sangat menyukainya. Tapi bukan berarti Kana ingin merasakannya. Ia hanya penasaran.

Setelah menaruh tas kesayangannya, Kana berjalan menuju kasir. Menyebutkan pesanannya lalu mulai memperhatikan sekeliling. Cukup sepi, biasanya Cafe ini ramai remaja seumurannya. Ah Kana ingat, ia lupa bahwa sekolahnya itu pulang lebih cepat 2 jam daripada sekolah lainnya.

Berjalan menuju rak dan mulai memperhatikan satu persatu buku yang berjajar. Menghirup aromanya dengan tenang. Kana sangat menyukai wangi kayu. Memejamkan mata, Kana mulai menikmati udara sekitarnya.

Pukk

Yaa, sampai ada seseorang yang menepuk bahunya. Kana membalikan badan.

"Bian?"

Kana selalu memikirkan kalau dia akan bertemu teman sekolahnya. Tapi orang dihadapannya ini sangat diluar dugaan. Bian yang sangat suka berantem. Dari penampilannya saja Kana tidak pernah berekspetasi kalau Bian akan mengunjungi tempat semacam Cafe.

"Gue kira bukan Lo. Makanya daritadi gue sedikit ragu buat nyamperin." Ucap Bian mengusap tengkuknya sambil mengalihkan pandangannya.

Kana mengangguk dan berdehem singkat, ia ingin bertanya hal yang ada di pikirannya tapi ia ragu. Ah apa tanya saja?

"Bian, kenapa bisa disini?" akhirnya pertanyaan itu keluar dari bibir seksinya. Kana kenapa sih. Orang ke cafe sudah jelas mau minum atau makan cake. Pasti Bian sekarang berpikiran aneh tentang dirinya.

Terkekeh lucu, Bian menunjuk seorang gadis dengan dagunya. Gadis itu tampak cantik dengan seragam SMP membalut ditubuhnya yang Kana yakini masih dalam masa pertumbuhan.

"Adek gue nagih janji. Katanya ada menu baru gitu. Gue gak terlalu paham sama minuman-minuman gini."

Ternyata Bian tipe lelaki yang menyayangi saudara ya?

"Kalau gue emang sering disini." kana berujar tapi sedetik kemudian perempuan itu tersadar.

To much information, Kana. Bian itu gak nanya. Astaga.

"Berarti gue harus belajar buat paham minuman disini." gumam Bian tersenyum kecil.

Kana tersadar dari pikirannya dan menatap Bian,
"Hm?"

Bian menggeleng, mengusap puncak kepala Kana. Kana itu termasuk tinggi untuk ukuran perempuan. Bahkan gadis itu saja tingginya setara hidung Bian. Tinggi bian saja 183. Pasti tinggi Kana antara 170 sekian.

"Gue ajak adek gue kesini ya? Bolehkan duduk bareng Kana?"

Kana berdehem lalu duduk kembali ke kursinya, ia cukup salah tingkah atas perlakuan Bian. Dia ini jarang bersentuhan dengan lelaki lain kecuali Levan dan Arkan. Tapi dengan seenak jidat Bian mengusap kepalanya. Benar-benar kurang ajar.

Kalem Kana, kata baper itu gak ada dikamus dan tidak ada di daftar to do list buku harian. Jadi urusan percintaan yang tidak jelas harus kita enyahkan.

Sudah dibilang Kana itu tidak pernah merasakan cinta. Respon salah tingkah Kana juga pasti karena ia sudah tau bahwa lelaki itu memiliki rasa.

Iyakan pasti karena itu?

Kana dan FanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang