Hari ini udara lebih terasa menyengat dari biasanya. Seakan pasokan oksigen melarikan diri dari sekitar gadis itu berada. Kelasnya terasa pengap. Ini semua karena insiden seminggu lalu di museum. Taria tampak lebih diam dari hari biasa yang memang sudah pendiam. Bisa dibayangkan orang yang sudah pendiam lebih banyak diam. Ditambah aura Atra yang seakan mencekam dan menekan orang-orang yang tidak berada jauh dari laki-laki itu.
Situasi ini benar-benar membuat manusia di kelas serasa kaku dan enggan melakukan kegiatan apa-apa. Jelas semuanya merasakan perbedaan suasana yang tiba-tiba beda.
Entah kemana para guru. Seperti bekerja sama membuat seisi kelas merasa tidak nyaman. Termasuk Kana yang sudah sedari tadi menghela napas. Ia sungguh lelah dengan drama yang tidak berkesudahan. Tidak tahu kapan kedua manusia itu akan menyelesaikan masalahnya.
"Atra, can you just talk to her?" tanya Kana memutar badannya menghadap Atra.
Laki-laki itu yang memang sedari tadi memandang punggung Kana sedikit tersentak saat gadis itu berbalik secara tiba-tiba.
"Sorry kaget ya?"
Atra menggeleng lalu tersenyum tipis,
"Gak ko. Tadi kenapa?"Penghuni kelas seketika terperangah karena Atra yang seperti bunglon. Tadi seperti ingin memakan seisi kelas, tapi liat sekarang laki-laki itu sudah bisa tersenyum walau tipis.
Menarik napas sebelum berbicara, Kana menatap Atra tepat di matanya.
"Lo kan udah tau perihal masalah itu dari lama. Gue bukan bela Tari. Tapi pasti dia juga merasa gak adil karena dia satu-satunya yang gak tau masalah ini." ucap gadis itu pelan yang hanya mampu di dengar Atra.Posisi mereka tidak ada yang lebih baik. Diantara keduanya sama-sama menderita. Terkadang orang yang katanya lebih dewasa merasa mereka lebih tahu segalanya. Padahal nyatanya mereka hanya memikirkan kebahagiaan dirinya sendiri semata. Tidak memikirkan bisa saja ada pihak lain yang menderita. Contohnya Atra dan Taria.
Kesalahan orang tua mereka membawa mereka pada rasa putus asa. Atra yang menderita dan dunianya yang hancur berkeping-keping. Taria yang hidup bertahun-tahun tanpa tahu apa-apa jelas begitu menyedihkan.
Sebelum Kana melanjutkan bicaranya ia berdiri lalu memandang Atra,
"Kita jangan ngomong disini."Walau ragu Atra menurut. Bangkit dari duduknya dan berjalan mengikuti langkah Kana.
Kini mereka berada di taman belakang sekolah yang cukup sejuk. Jelas jauh dari suasana kelas yang errr tidak usah dijelaskan.
Atra memandang Kana yang membelakanginya. Rambut hitam legam gadis itu tertiup angin. Tangan seputih susu itu tampak memantulkan cahaya disaat Kana menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga.
Disaat seperti ini saja Atra masih mengagumi Kana yang tampak sempurna.
Entah berapa lama mereka sama-sama diam. Atra yang sibuk mengagumi Kana dan Kana yang sibuk memikirkan kalimat yang tidak akan membuat Atra tersinggung.
"Tra." panggil Kana.
Atra berdehem menyamakan posisi berdirinya menjadi di samping Kana.
Gadis itu tersenyum tipis saat menoleh,
"Terkadang luka yang kita punya gak sengaja bikin orang lain ikut luka juga."Lalu Kana menatap Atra sepenuhnya,
"Atra udah menderita selama ini. Ngelunjak kalau gue minta lo buat bicara sama Taria. Tapi Taria juga menderita, dia pasti sakit jadi pihak yang gak tau apa-apa dan tiba-tiba dihadapin sama kenyataan itu."Kana menggenggam tangan Atra.
"Just talk to her. Ini bukan kesalahan kalian. Gak perlu balik seperti semula, cukup berdamai dan jalani hidup dengan sebaik-baiknya."Gadis itu melepaskan genggaman Atra lalu menatap langit.
"Gue pernah baca kalimat ini 'Bukan tentang melupakan kenangan apalagi orangnya. Tetapi tentang menerima semua yang terjadi dan tetap hidup'."Atra terenyuh. Laki-laki itu ikut menatap langit seperti Kana.
"Kana, gue semakin yakin kalau lo bukan manusia."Kana mengernyit heran atas ucapan Atra yang tidak masuk akal. Jelas dirinya manusia. Bernapas menggunakan hidung bukan insang.
"Lo malaikat. Gue yakin itu."
🦋🦋🦋🦋
Setelah selesai berbicara dengan Kana. Disinilah Atra berada. Di tempat yang sama namun dengan orang yang berbeda.
Taria.
Setelah setuju dengan usul Kana yang menyarankan dirinya untuk setidaknya berbicara pada gadis yang sekarang berada tepat dihadapannya.
Maka berakhirlah mereka berhadapan namun saling diam.
Taria memilin roknya dengan mata yang sudah berair
"Maaf.""Maaf gue udah biarin lo menderita. Maaf karena gue gak bisa apa-apa disaat lo sedih. Maaf.
Gue kaya orang bodoh Atra.
Gue gak tau apa-apa dan hidup enak tanpa masalah.Gue takut.
Gue gak nyangka sama ibu gue sendiri dan gue bener-bener gak percaya. Gue habisin waktu gue seminggu ini buat mikir. Tapi otak gue kerasa kosong.
Gue gak tau kalau ibu gue alasan lo-."Omongan Tari terhenti disaat Atra menyentak bahu gadis itu agar menatapnya. Taria mendongak dengan air mata mengalir di pipinya. Bahkan hidung gadis itu sudah sangat memerah.
"Gue ajak lo ngomong bukan buat denger lo nyalahin diri sendiri." ucap Atra menatap tajam.
Taria menyeka air matanya kasar dengan sesenggukan.
"Gue-"
"Gue tau lo menderita juga, Taria."
Gadis itu menggigit bibir bawahnya menahan isakan.
"Maka dari itu, jalanin hidup masing-masing. Gue dengan hidup gue dan lo dengan hidup lo." ucap Atra memandang gadis yang lebih pendek darinya.
"Kita gak bisa saling mengobati. Jadi sembuhin diri lo sendiri. Jalani kehidupan lo seperti biasa dan bersikap biasa aja. Gue maafin lo dan gue minta maaf karena biarin lo gak tau apa-apa." lanjutnya.
Atra berbalik hendak meninggalkan Taria. Melangkahkan kakinya menjauh.
"Bisa aja tiba-tiba kita jadi saudara. Sampai saat itu gue harap lo gak apa-apa."
"Maaf, Atra."
![](https://img.wattpad.com/cover/311973627-288-k791080.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kana dan Fana
Teen FictionHanya tentang keindahan Kana dan Tiga laki-laki yang menyukainya.