Rumah Sakit Jiwa

583 76 8
                                    

Setelah peristiwa yang tidak begitu mengenakan. Kini Atra tampak sudah biasa saja. Bahkan laki-laki itu sudah menebarkan senyumannya.

Ah lebih mengejutkannya lagi kini mereka berdua berada di tempat yang tidak pernah Kana pikirkan sebelumnya.

Rumah Sakit Jiwa.

"Kita ngapain disini?" bingung Kana menatap bangunan di depannya.

Atra tersenyum menarik tangan Kana untuk berlari kecil,
"Ketemu Mama gue, mau kan?"

Kana tersenyum lalu mengangguk. Setelah mendengar keseluruhan cerita Atra. Kana yakin laki-laki itu sangat menyayangi Mamanya.

Selama berjalan banyak yang menyapa Atra. Ternyata laki-laki itu sangat akrab dengan Suster rumah sakit jiwa tersebut. Mungkin, karena sering mengunjungi Mamanya.

"Emangnya gak apa-apa?" tanya Kana melihat keselilingnya.

Atra mengangguk lalu menghampiri salah satu Suster.

"Eh ada Atra, mau ketemu Ibu ya?" tanya Suster itu tersenyum ramah.

"Iya Sus, mohon bantuannya ya."

Suster itu memimpin jalan di ikuti Atra di belakangnya. Kana menatap Atra dari samping. Ia masih tidak menyangka semua itu terjadi pada laki-laki disebelahnya. Laki-laki yang selalu tersenyum hangat itu ternyata menyembunyikan banyak luka.

"Pasti gak gampang ya?"

Atra tersenyum,
"Awalnya sih. Tapi sekarang gak apa-apa."

Lelaki itu mengusap rambut Kana lembut.
"Karena masih banyak alasan gue untuk tetap hidup." ucap Atra berjalan memasuki sebuah kamar.

Kana menyentuh rambutnya yang baru saja diusap Atra. Menatap punggung di depannya dengan raut tak terbaca.

"Ayo, ngapain masih disitu?"

Menggeleng singkat gadis itu melangkahkan kakinya mengikuti Atra yang sedang menghampiri seorang wanita yang Kana tebak adalah Mamanya Atra.

"Sini, Kana."

Kana menurut. Kini ia bersebelahan dengan Atra menghadap wanita yang tampak masih terlihat cantik walau dengan kantung mata menghitam. Tatapannya kosong, pipinya tirus seolah menjelaskan wanita itu memang tidak baik-baik saja.

"Ma, Atra bawa Kana yang sering Atra ceritain." laki-laki itu tersenyum lembut menggenggam tangan Mamanya.

Binar mata Atra kali ini sangat menyejukkan. Membawa kesan damai bagi siapapun yang menatapnya.

"Mama harus sembuh biar nanti kita bisa makan dan belanja bareng Kana." Atra melanjutkan masih dengan senyumannya. Tetapi sang Mama sama sekali tidak merespon. Masih memandang kosong ke depan.

Kana tersenyum tipis melihatnya. Berinisiatif melangkahkan kakinya lebih dekat.
"Halo tante, saya Kana. Atra sangat menyayangi Tante melebihi siapapun. Jadi tante harus sembuh ya?"

Dapat Kana rasakan usapan di bahunya. Atra tersenyum lembut.

"Maaf sekarang sudah waktunya ibu untuk makan." interupsi Suster tadi.

Atra mengangguk,
"Terima kasih, Sus. Tolong jaga Mama seperti biasa."

"Ayo kita pulang." ajak Atra menatap Kana sebelum laki-laki itu melangkahkan kakinya.

Kana menganggu. Sebelum ia benar-benar keluar, gadis itu menoleh ke belakang. Menatap Mama Atra yang tersenyum menatapnya.

🦋🦋🦋🦋

"Jadi?"

Kana melupakan satu fakta.
Ia benar-benar meninggalkan temannya yang lain di museum. Ini semua karena Atra yang mengajaknya pergi tanpa aba-aba. Yah, dia tidak menyesalinya juga sih.

"Gue abis ketemu Mama." jawab Atra membalas pertanyaan Bian.

Bian menghela napas. Kalau alasannya karena Mama Atra sih Bian juga tidak bisa marah. Bian sangat tau Atra sungguh menyayangi Mamanya. Untuk kali ini maka tidak apa-apa sedikit mengalah.

Jessie tampak diam. Membuat Kana yang melihatnya khawatir setengah mati. Kana takut gadis itu berpikir yang macam-macam.

Tapi dugaannya salah.

"Duh, Kana. Lo mah, tau gak pas lo berdua pergi gue kaya orang dongo. Si Taria tadi tiba-tiba pucet dan pergi gitu aja. Sisa gue deh yang ngurusin curut-curut ini." dumel Jessie menunjuk Bian, Reno, dan Elliot.

Kana sampai melupakan fakta lainnya. Taria, apa yang akan perempuan itu lakukan setelah mengetahui perihal Ibunya merupakan selingkuhan laki-laki yang pernah jadi pacarnya. Pasti itu tidak mudah bagi Taria.

"Gue sih aman. Tapi sebelah gue gak tau." ucap Reno melirik Elliot yang terduduk kaku.

Mereka semua kini sedang berada di tempat makan fast food yang cukup digemari kalangan remaja. McDonald.

Kana menatap Elliot. Jika dipikir-pikir ia belum berbicara lagi dengan laki-laki itu. Ia tidak tahu harus berkata apa setelah mengetahui isi surat dari laki-laki itu. Ada rasa ingin berdamai dengan Elliot tapi masih banyak keraguan dalam dirinya.

Ia memaafkan Elliot. Tapi ia ragu memulai hubungan dengan laki-laki itu.

"Dia kenapa?" tanya Kana menunjuk Elliot dengan lirikan.

"Gak tau, dia diem doang. Kalau ditanya cuma ngangguk atau geleng." jelas Jessie menganggukan kepalanya lalu menggeleng.

Kana menghela napas. Yaudalah bukan urusannya.

Memakan french friesnya Kana menatap mereka satu persatu. Sepertinya kedepannya akan lebih banyak masalah.

"you okay?" tanya Bian khawatir.

Kana mengangguk lalu tersenyum menenangkan.

Rasanya Kana ingin teriak.

GUE STRESS BERAT!!!

Tapi itu tidak mungkin. Citra keluarganya nanti bisa rusak.







Kana dan FanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang