Museum Kepedihan Hati (3)

51 7 0
                                    

"Katakan ada apa gerangan di sini? Kenapa istriku dan cincin kawin kami hilang bersamaan, hah? Permainan balas dendam apa yang kamu buat pada kami? Apa dosaku begitu berat, sampai layak dihukum seperti ini?"

"Bukannya kamu yang dulu kurang mensyukuri berkah dan mempermainkan cinta? Itulah karmamu, Bung!" Greta Reiko membentak si pria yang kehilangan dua benda berharganya sekaligus, tanpa iba sedikit pun. Sesaat ia bahkan melupakan tata bahasanya yang santun.

"Maksudmu kamu sekarang penagih karma, begitu? Siapa kamu sebenarnya?" Si lelaki, Danke namanya, menyahut sedikit linglung.

"Baiklah, agar Anda tidak marah lagi, akan saya katakan ini bagian dari prosedur yang saya janjikan. Jadi Anda niatnya menghapus kenangan cinta Anda bersama istri, kan?" Seakan merasa bersalah atas ucapan kasarnya, si perempuan kembali ke gaya bahasa sopan santun.

Si lelaki, Danke mengiyakan dengan anggukan. "Iya. Tidak salah, memang. Tapi saya tidak berharap istri saya tiba-tiba menghilang. Lagipula cincin itu, itu kuncinya, maksudku benda persyaratan untuk prosedur pelenyapan ingatan."

"Saya tidak akan to the point, maksudnya kita mulai bertahap sebelum sampai ke intinya. Tahap pertama adalah cuci mata. Lihatlah sekeliling Anda. Ruangan putih ini apa artinya di mata Anda?"

Segera Danke menjelajahi ruangan bening secantik kupu-kupu Greta Oto. Semuanya putih, bersih, mulai dari lantai, dinding, dan langit-langit. Uniknya, benda-benda pajangan di ruang ini tak satu pun yang warnanya putih. Hitam juga hampir tidak ada, karena sejauh mata memandang, seluruhnya berwarna-warni ibarat krayon oil pastel mencoreng kertas polos dan warna-warninya demikian tak terlukiskan kata. Mungkin indah, mungkin pula berantakan, tetapi seluruhnya tertata terlalu pretensius, bak sebuah pameran karya seni berkelas wahid. Sungguh lagak yang elitis.

Si lelaki bergidik melihat sebuah gigi palsu, lengkap rahang atas maupun rahang bawahnya, namun gigi geliginya berwarna merah tua. Dengan gusi tiruan merah dadu, gigi buatan itu terlihat mengancam sekali, seakan pemakainya seorang manusia yang garang dan sangat pemarah.

"Gigi tiruan itu terbuat dari gerabah. Bukan gigi palsu sungguhan. Ironis, kan, ini karya seni yang meniru gigi palsu. Palsu di atas kepalsuan. Seperti hidup yang nyata, hidup yang Anda dan saya jalani sekarang ini." Greta Reiko tertawa mengimbuhi penjelasannya, herannya bagi Danke tawa itu seakan akrab bila didengarkan secara langsung. Tawanya di unggahan sosial media tidak sama seperti saat ini.

"Siapa pemilik gigi ini dulunya?" Danke bertanya.

"Seorang cucu yang tak kuat menanggung rasa berdosa. Tanpa sengaja ia salah memasakkan makanan untuk kakeknya. Kakeknya ternyata alergi telur dan pasta kacang. Ia tidak tahu karena baru bertemu kakeknya setelah dewasa. Dulu, ia dibuang ibunya sejak dilahirkan, dan betapa terharunya ia setelah tahu sang kakek masih hidup meski sudah pikun. Sayang baru seminggu bersama sang kakek, ia malah membunuh kakeknya sendiri."

"Tragis betul. Pantas ia mau membuang memori pahit itu." Danke mendesis di ujung kalimatnya, buru-buru disekanya bulir bening dari pelupuk matanya.

"Gigi Anda masih utuh, kan? Dulu, leluhur kita belum sadar untuk merawat gigi, dan pasta gigi di masa lalu tidak ditambahkan fluoride. Sekarang ini, semakin jarang warga Esperanto yang bergigi palsu, kan?"

Danke sebetulnya menanam implan gigi, ada dua, dan dua-duanya ada di gigi depannya. Ia pernah terlibat adu jotos dan kalah kuat. Selain kehilangan harga diri, dua giginya tanggal dan orangtua teman sekolahnya terpaksa ganti rugi dengan membiayai perawatan gigi Danke, rahasia kecil si lelaki yang bahkan tak diketahui siapa pun, termasuk istrinya yang kini menghilang. Namun, sepertinya ada seorang gadis yang memegang rahasianya, entah siapa pun dia.

Kisah Museum KehilanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang