Awan Hitam dan Awan Putih (18)

34 3 0
                                    

Si laki-laki lansia masih menating gigi palsunya. Tentu gigi buatan itu bersih, karena di Dunia Lain di dalam awan-awan, sukma manusia tidak butuh makan dan minum, sebagaimana kodrat arwah kekal adanya. Di akhirat tak akan ada kelaparan, sebanyak apa pun jiwa-jiwa yang dikumpulkan ke hadirat-Nya. Selain ruang dan waktunya tak terbatas, ketidakkekalan telah menjelma kekekalan. Daging sudah menjadi roh, dan roh dimerdekakan dari keinginan insani fana.

"Maaf saya menyela sebentar, ya. Boleh gigi palsunya Bapak pakai kembali? Seingat saya dulu, semasa hidup, saya takut sekali dengan gigi palsu." Gracias menatap si lelaki tua dengan senyuman yang memohon.

"Oh, maaf. Aku lupa kalian berdua belum lama meninggal. Masih ada keduniaan yang melekat. Tapi kalian masih lebih baik. Aku sudah cukup lama berpulang, tetapi keduniaanku masih terasa kental." Si bapak dengan terpingkal menekap mulutnya, merekatkan kembali gigi palsu dalam mulutnya. "Nah, jadi begini ceritanya ..."

Si pria manula bercerita, seingatnya ia meninggal dalam keadaan demensia. Sesudah menjadi arwah di Dunia Lain, tersadarlah ia bahwa ia meninggal dunia bukan karena penyakit tua, melainkan karena alergi berat dengan santapan telur dan pasta kacang. Cucunya yang memasak untuknya, tanpa sengaja membunuhnya, karena si cucu baru bersamanya selama satu minggu sejak ia mengenali kembali kakek kandungnya. Pasalnya sejak dilahirkan di dunia, sang cucu dibuang ibu kandungnya, dan mengira ia sebatang kara sebelum jejak kakeknya diketemukan.

"Ia tidak sengaja. Tidak tahu maka tidak dosa. Jelas aku mengampuninya, karena aku ingat, cucuku begitu sayang dan memperhatikanku sepekan itu. Namun, kemudian ia lupa kepadaku. Makamku tidak terawat dan tidak pernah dijenguk. Dari sini, aku tahu semua yang terjadi di dunia bawah sana." Si lelaki tua menuding ke bawah kakinya, putih semata yang terlihat, seperti aspal yang dipadatkan dari salju atau layaknya balok es terbersih di dunia.

"Luar biasa. Apakah Bapak melihatnya dalam pikiran Bapak seperti sepotong berita, begitu?" Danke angkat bicara, memperhatikan saksama apakah bumi fana bisa dilihatnya dari sela-sela kakinya.

"Biasanya setelah kamu meninggal sepuluh tahun baru penglihatan istimewa diberikan kepadamu. Dulu aku juga tak tahu apa-apa soal perkara di bawah sana." Si bapak lansia menekap mulutnya lagi, tetapi kali ini maksudnya untuk menutupi mulutnya yang menguap lebar. Gracias terlihat sangat lega.

Penyebabnya adalah ganjalan batin yang tak terselesaikan. Si pria sepuh masih menyimpan pikiran buruk soal cucunya. Mengapa begitu meninggal manusia dengan cepat dilupakan orang-orang yang dulu mengasihinya, seakan dengan kematian setiap hubungan di dunia sudah selesai selama-lamanya? Seperti ia dan istri tercintanya yang tak kunjung dipertemukan di akhirat, karena statusnya sebagai penjaga halte yang tak diizinkan untuk beranjak dan pergi.

"Selama ini aku setia pada mendiang istriku, karena keyakinan ia bisa melihatku dari atas sana. Istriku tiada saat aku masih sangat muda, 35 tahun kalau tidak salah, dan aku menduda 55 tahun lamanya, bahkan jauh lebih panjang dari waktuku mengenal perempuan terkasih itu. Namun, ganjalan fana menahanku di sini. Jangankan bertemu istriku, bahkan aku tak bisa pergi dari halte ini, selama simpul di hatiku masih terikat erat."

"Soalnya Bapak masih tidak terima soal cucu Bapak yang durhaka, kan?" Danke berucap hati-hati, seraya benaknya mengira-ngira, mengapa cerita si bapak tua terdengar sangat familier.

"Ah, seharusnya aku tak boleh menyalahkan cucuku. Dia dibuang ibunya sejak lahir, dan baru bertemu denganku sepuluh tahun lalu di dunia fana. Kami baru bersama satu minggu sebelum ia tanpa sengaja membuatku alergi dan sesak napas. Mungkin takdirnya seperti itu. Wajar bila ia melupakan sang kakek yang tak dikenalnya sejak kecil."

Kian dalam melipat keningnya, Danke merasakan dejavu antara kisah si bapak sepuh dan cerita yang didengarnya dari museum patah hati. Jangan-jangan ... atau ini cerita berbeda yang kebetulan saja mirip satu sama lainnya?

Kisah Museum KehilanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang