Kata orang, kehilangan tidak bisa dilihat dan hanya bisa dirasakan dalam hati. Namun, Greta Reiko punya sistem tubuh yang membedakannya dari manusia kebanyakan. Bukankah ia keturunan penyihir putih, yang merupakan satu-satunya suku asli Esperanto yang tersisa? Leluhurnya adalah peri Hamadriad yang menghuni pepohonan tanah air kami. Dulunya, Esperanto adalah Tero de Arbo, Negeri Pohon yang keluhuran sihirnya mengeringkan gemuruh sungai menjadi humus nan gembur sumber kesuburan.
Ayah kandungnya yang ternyata sudah meninggal adalah keturunan peri Hamadriad, dan Greta Reiko diberikan karunia penglihatan luar biasa. Ia mampu melihat kehilangan di hatinya sebagai aliran udara yang tergesa-gesa. Atau bayangan hitam serupa gulungan asap yang tak teratur. Tidak seorang pun dapat melihatnya, karena rahasia penglihatan hanya diberikan pada orang-orang terpilih saja.
Sesudah Greta Reiko menyaksikan ayahnya dibunuh dengan bengis, ia melihat sebuah ruangan museum yang kosong, tak berbelas kasih dengan putih yang menjemukan. Seluruh benda di dalamnya direbut oleh kenang-kenangan yang menghilang. Sekonyong, semuanya dirampas tiba-tiba, seakan keberadaannya selama ini sia-sia adanya. Museum yang dicintai Greta Reiko kini telah musnah, hanya kesakitan dan luka saja yang tertinggal.
Tembok, langit-langit, serta lantai marmer putih ibarat wajah pucat terperangah. Greta Reiko melihat - dan bukan merasakan - kekosongan yang pilu, seakan sesuatu yang jahat menguras kebahagiaannya secara paksa. Luka-luka hati yang menumpuk, menunggu kata maaf darinya, selagi si perempuan menemukan pecahan beling bersemir darah di tangannya. Itukah darah ayahnya yang dibunuh ataukah itu darahnya sendiri, menyemburat dari lubuk batin yang disakiti tumpukan dendamnya?
"Greta Reiko, cepat punguti beling-beling sialan dengan tanganmu. Ya, ya begitu. Jangan sampai ada yang luput, atau kau tak kuberi makan malam nanti. Lihat hasil perbuatanmu itu. Kau sungguh tidak becus!"
"Tapi Mama, beling-beling ini kecil-kecil sekali. Boleh aku menyapunya saja, Ma?" Greta Reiko memohon belas kasihan ibunya, sementara sebutir beling kecil menancap pada daging kukunya dan begitu ngilu hingga gigi geliginya gemeletuk.
"Siapa suruh kau memecahkan gelas itu, anak keparat! Sungguh sial aku sampai melahirkanmu yang lemah ini. Satu lagi, jangan panggil aku Mama. Panggil aku Ibu, paham kau?"
"Ma, maaf, Ibu, aku berdarah, Bu. Pecahan belingnya masuk ke jariku." Greta Reiko kecil mengiba-iba dengan sia-sia.
Usianya sembilan tahun ketika itu. Kenangan itu riil, bukan penglihatan, dan pernah ia alami sebagai luka batin tak tersembuhkan, merembeskan darah yang melumuri mata yang sembab. Air matanya runtuh, membasahi jarinya yang dilukai beling, seakan air mata yang berlumur darah pekat. Seumur hidupnya, ibunya menyebutnya "kau" dan ia membalasnya dengan sapaan "ibu" yang kaku.
Namun, ingatan jahanam itu diperbarui dengan kejadian yang tak dialami Greta Reiko sendiri. Ibunya mencampakkan sehelai tisu yang kasar, mungkin ini tisu toilet dari kualitas yang rendah. "Lap darahmu, anak sial! Aku tak suka melihat darahmu, karena kau persis ayahmu yang kubunuh tujuh tahun lalu."
Pengakuan ini tak pernah diucapkan ibunya dua puluh satu tahun yang lalu. Dulu ibunya hanya menyaksikan ia tersedu-sedu, tatapannya tajam dan senyap, seperti ingin melakukan sesuatu yang jahat tetapi urung terlaksana. Kini, ibunya membuat pengakuan yang seakan mustahil, karena setahunya, Danke yang memberitahunya, ayahnya membunuh seorang pelanggannya dan lalu dipenjarakan di Timbuktu seumur hidupnya.
Pengungkapan ibunya lebih menyakitkan ketimbang kuku dicerai dari dagingnya. Ibunya mengaku menggorok ayah kandung Greta Reiko dengan pecahan botol parfum. Karena si pria mengancam akan membocorkan perselingkuhan mereka pada suami ibu Greta Reiko yang seorang peracik parfum kenamaan dan mencemarkan nama keluarga mereka. Suami ibu Greta Reiko, yang dikira Greta Reiko sebagai ayah kandungnya, sebetulnya adalah paman atau kakak lelaki dari ayah biologisnya. Perselingkuhan ibu Greta Reiko menghasilkan seorang putri, dan suaminya tak pernah tahu sampai saat ini, Greta Reiko sebetulnya adalah keponakan dan bukan putrinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Museum Kehilangan
General FictionMuseum Kehilangan dulunya Museum Patah Hati yang menyedihkan. Greta Reiko sang pemilik sadar, bukan patah hati yang paling sengsara, tapi kehilangan mendalam, itulah kesudahan dari hidupmu. Setiap benda patah hati diwakili sebuah Pintu Kehilangan be...