"Apa yang mengganggumu, Danke? Kenapa hidungmu mengerut terus?"
Danke 30 tahun yang berada di museum patah hati merasakan raganya melintasi masa lampau, melalui pintu putih kayu menyilaukan baru saja. Tahu-tahu ia berada di sebuah halte bus dan berlindung dari hujan deras, sementara di sisinya ada gadis seusianya menggigil kedinginan. Ia tahu gadis kecil dan kurus itu sebaya dengannya, karena dilihatnya ia menjelma siswa 13 tahun yang tubuhnya ringkih. Dipastikan ia kembali pada memori masa SMP-nya.
Paras gadis itu tidak kelihatan jelas. Buram abu-abu seperti kaca berembun atau paras yang disamarkan televisi, entah karena orang itu kriminal atau dilindungi kerahasiaan identitasnya. Semakin Danke mencermati sosok si gadis, wajahnya malah teracak layaknya televisi analog yang putus bergaris-garis. Ini mungkin yang dinamai distorsi memori, pikir raga Danke 13 tahun yang jiwanya sosok laki-laki matang 30 tahun.
"Danke, kamu belum menjawab tadi. Apa yang mengganggumu? Kenapa hidungmu mengerut terus?" Si gadis remaja mengulangi pertanyaannya serius.
"Baiklah, aku jujur saja padamu. Aku penderita Tourette Syndrome, tetapi penyakitku sudah terkendali sekarang. Kadang aku suka mengerutkan hidung tanpa sebab, terus-terusan. Jangan dipedulikan, ya."
Tourette Syndrome bukan kondisi langka di negara Esperanto. Gangguan neurologis yang ditandai gerakan berulang-ulang, yang di luar kendali, dan ucapan pun diulang-ulang, bila parah seperti orang latah yang mengulang perkataan sendiri dan perkataan orang lain, bahkan mengucapkan kata-kata kasar yang disebut koprolalia. Untungnya untuk vokalisasi atau bersuara, gangguan Danke termasuk ringan, sekadar sering batuk dan berdeham tanpa sebab saja.
Heran, penyakit ini ibarat bayang-bayang hantu yang luput dilupakannya. Bahkan Danke 30 tahun tak sadar ia punya penyakit bernama unik itu. Danke kursus bahasa Prancis sejak kecil. Ia kenal kosa kata "Tour" dalam bahasa Prancis yang artinya menara. Danke remaja pun menjuluki penyakitnya, Sindrom Tourette, sebagai menara kecil. Dalam bahasa Prancis, akhiran "ette" seringkali menunjukkan bentuk kecil dari sebuah benda. Oleh karena itu, guru bahasa Prancisnya yang bernama Mademoiselle Marion disapanya Marionette, karena tubuhnya mungil dan hanya lima kaki tingginya, kira-kira hanya sampai di telinga Danke remaja yang sebetulnya tidak terlalu jangkung tubuhnya.
Gadis bertubuh mungil di sisinya juga seperti marionette, boneka pertunjukan bertali, yang luwes gerakannya dan lentur menari-nari berirama. Antara ingat atau tidak, Danke merasakan kehangatan setiap kali ia bersama si gadis, bahkan jauh sebelum usia 13 tahun, agaknya mereka sudah kerap bersama-sama, senantiasa sebagai sahabat paling dekat.
"Namamu siapa, ya?" Danke yang kembali remaja menanyai si gadis mungil, karena sukma dewasanya tidak mengenali teman bicara itu.
"Apa katamu, Danke? Aku tak mendengarmu." Si gadis berucap lirih, nyaris menyerupai desisan gerimis dan kedengarannya kurang familier.
"Perkenalkan. Namaku Gracias de Nada. Senang bertemumu pertama kalinya."
Danke ternganga, karena kini ia berhadapan dengan Gracias muda yang baru berusia 19 tahun. Danke ingat, ini pertemuan pertama mereka, di sebuah pesta gala dan Danke 20 tahun baru saja dilantik sebagai presiden kampus. Gracias adalah aktivis mahasiswi dari kampus sebelah, dan ia cukup cantik dengan hidung besar dan bibirnya yang memberengut sedikit. Mata perempuan itu yang menarik Danke selain hidungnya. Mata bundar tanpa lipatan di atas mata. Kelopak mata ganda yang katanya jadi standar kecantikan perempuan tidak dimiliki calon istrinya ini, tetapi tak soal buatnya, karena mata si perempuan amat besar dan menakjubkan. Ekspresinya ekspresif.
Namun, gadis kecil yang berbincang dengannya tadi, di usia 13, bukan Gracias. Danke belum cukup pikun untuk mengingat perjumpaan mereka di usia mahasiswa pertama kalinya. Siapa gadis bertubuh kecil itu dan kaitannya apa dengan istri Danke, karena setahunya sejak anak-anak istrinya berperawakan tinggi dan bongsor, seperti foto-foto yang ditunjukkan padanya. Tidak mungkin Gracias berperawakan kecil semasa remajanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Museum Kehilangan
Ficção GeralMuseum Kehilangan dulunya Museum Patah Hati yang menyedihkan. Greta Reiko sang pemilik sadar, bukan patah hati yang paling sengsara, tapi kehilangan mendalam, itulah kesudahan dari hidupmu. Setiap benda patah hati diwakili sebuah Pintu Kehilangan be...