Gracias de Nada tidak biasa mengada-ada. Sekalipun ingatannya terhadap Danke musnah bersama cincin kawin yang dihibahkan ke museum, ia sedikit mengingat benda kesayangan suaminya. Baju hangat tak bersaku, warnanya unik, tak bisa dikatakan warna abu-abu, juga bukan krem atau kuning lemon, bahkan dikatakan hijau pupus juga kurang mengena. Yang jelas bahannya wol Merino Jerman, di dadanya tertera gambar rubik yang kotaknya bercampur antara kuning, oranye, merah, putih, biru, dan hijau. Ujung-ujung kotak rubiknya agak sedikit sompek, setahunya.
Kebetulan, arwah pria di sisinya mengenakan baju yang persis sama. Namun, anehnya, Gracias tidak curiga sama sekali, Danke adalah suaminya saat mereka belum meninggal dunia. Ia masih tak mengingat siapa orang yang ditunggunya selama ini. Ia cuma punya harapan, Danke dan dirinya mungkin menunggu orang yang sama. Alhasil, bila teman sehaltenya berjumpa seseorang itu, penantiannya juga berakhir dan ia tak perlu tinggal di halte yang menjemukan. Lebih penting lagi ia tak perlu berbincang pada pria tua bergigi palsu yang kadang lumayan membosankan pembicaraannya.
"Baju hangatmu bagus, Danke." Gracias memuji, sekaligus memilin ingatannya yang tak utuh, bak serat-serat kapas berbujur simpang siur. Sayang, ia tak mengingat siapa pemilik baju hangat yang mirip kepunyaan Danke itu.
"Terima kasih. Ini baju terakhir yang kupakai sebelum meninggal. Kebetulan ini baju kesayanganku di dunia." Danke menyahut berseri-seri.
"Kamu beruntung, Danke. Lihat pakaianku. Ini baju yang paling kubenci seumur hidup, entah kenapa aku malah memakainya dan lalu mati bersamanya. Sial betul."
Senyum Danke merekah, maksudnya menghibur jiwa perempuan di sisinya. Busana si wanita memang norak. Warnanya seperti wine burgundy, merah tedas atau warna merah tua keunguan berlapis setrip shocking pink yang terlampau menyala, modelnya jumpsuit formal yang sudah termasuk atasan dan bawahan. Gracias mengakalinya dengan lapisan kardigan warna hitam, tetapi corak jumpsuit terlalu mencolok untuk ditutupi hitam baju luarnya.
Si lelaki lansia mendeham. "Aku senasib denganmu, little fella." Ia mengangguk pada Gracias. Lihat bajuku. Ini kaus berkerah warna ungu tua. Baju terakhir yang kupakai sebelum dipanggil ke sini. Padahal aku tak suka warna ungu ini. Cucuku yang memakaikannya, karena baju-bajuku yang lain belum kering. Aku tak bisa protes karena sudah pikun semasa aku hidup waktu itu."
Orang-orang Esperanto selalu dimakamkan dengan pakaian terakhir yang dipakainya, terkecuali untuk kaum keturunan Tionghoa yang menurut adat mesti mengenakan gaun putih panjang untuk perempuan, dan setelan jas hitam untuk laki-laki yang berpulang. Siapa sangka, pakaian terakhir itu melekat pada dirimu, sampai kamu melepaskan keduniaanmu dan padamu diberikan pakaian keabadian yang baru.
"Boleh tanya, Pak. Pakaian keabadian itu wujudnya akan seperti apa, ya?" Danke bertanya cemas, karena merasa sayang melepaskan baju sweter kesayangannya, apalagi dipastikan baju tersebut bakal dimusnahkan selamanya.
"Entahlah. Bagiku nothing to lose saja. Apa pun coraknya, pastilah masih lebih baik dari ungu tua ini. Hahaha." Si pria tua mengusap busananya dengan tawa muram durja.
Danke menepuk bangku yang didudukinya, merasa bangku itu empuk sekalipun lumayan padat. Sekilas ia menangkap wujud sisik-sisik yang tak asing pada bangku putih transparan itu. Matanya mengarah pada bapak tua yang memandanginya, mencari jawaban berikut penegasan atas kecurigaannya.
"Bangku-bangku di halte ini, seluruhnya terbentuk dari kupu-kupu Greta Oto yang membeku. Hidup mereka hanya dua pekan saja, dan setiap kali menyelesaikan hidupnya di dunia, mereka akan dibawa ke awan stratocumulus untuk disatukan menjadi bangku-bangku dan bangunan halte. Lihat, mereka punya guna yang besar sekalipun sudah tak bernyawa lagi." Si pria lansia mendesah dengan air muka berbunga-bunga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Museum Kehilangan
Genel KurguMuseum Kehilangan dulunya Museum Patah Hati yang menyedihkan. Greta Reiko sang pemilik sadar, bukan patah hati yang paling sengsara, tapi kehilangan mendalam, itulah kesudahan dari hidupmu. Setiap benda patah hati diwakili sebuah Pintu Kehilangan be...