Labirin di Hidup dan Antara Mati (23)

58 4 0
                                    

Aissèra, Nanninè, me ne sagliette
Tu saie addò? Tu saie addò?
Addò 'stu core 'ngrato cchiù dispietto
Farme nun pò! Farme nun pò
Addò lo fuoco coce, ma si fuie
Te lassa sta! Te lassa sta
E nun te corre appriesso, nun te struie
Sulo a guardà, sulo a guardà

Jamme, jamme 'ncoppa, jamme jà
Jamme, jamme 'ncoppa, jamme jà
Funiculì, funiculà! Funiculì, funiculà!
'ncoppa, jamme jà funiculì, funiculà!

Nè jamme da la terra a la montagna
No passo nc'è! No passo nc'è
Se vede Francia, Proceta e la Spagna
E io veco a tte! E io veco a tte
Tirato co li ffune, ditto 'nfatto
'Ncielo se va, 'ncielo se va
Se va comm' 'à lu viento a l'intrasatto
Guè, saglie sà! Guè, saglie sà
Jamme, jamme 'ncoppa, jamme jà
Funiculì, funiculà!

Se n'è sagliuta, oje n'è, se n'è…

Tunggu, lagu ini bukan dalam bahasa Esperanto agaknya, putus Greta Reiko dalam mimpinya, mimpi ganjil yang mengiangkan nyanyian seriosa, seragam bunyi liriknya, hingga ia mati-matian mencoba bangun karena bosan. Namun matanya yang terjaga mendapati lantai kawah gunung berapi, dataran berkelok panjang, menyala-nyala dengan magma panasnya. Aromanya belerang mengarah bau cuka, kental, masam, mengundang mual.

Funiculi Funicula. Greta Reiko mengingat judul lagu mimpinya, semata karena itu kesukaan Danke, kekasih hatinya. Sebuah lagu humoris tentang sang pria yang mendaki gunung api, sementara Greta Reiko entah dengan cara apa berhasil menuruni kawah berbahaya, dan posisinya di dalam perut gunung yang bergolak dengan muatan membara, pijarnya amat sangat gemilang.

Setahunya gunung api di Esperanto, negerinya, sudah lama mati. Baiklah, sebutannya tertidur tanpa aktivitas vulkanis. Apa pun itu, Danke pasti iri dengannya saat ini, karena si pria tercintanya begitu menyukai volkano dan itu gunung terbaik di dunia, selorohnya bersemangat. Bahkan Danke berseru ingin menjadi gunung api bila ia beruntung bereinkarnasi untuk kehidupan berikutnya.

"Gunung api, Danke?" Greta Reiko menanyainya ketika itu, usia mereka sama-sama baru dua puluh, penuh cita-cita tinggi, merasa dunia ini bakal dengan gampangnya bertekuk lutut takluk.

"Gunung api jahat, sekaligus baik dan menguntungkan manusia. Dia harus tega meleburkan sesuatu, membawa kehancuran sesaat, lalu hasilnya kesuburan untuk waktu yang panjang. Mana ada yang lebih keren dari volkano?" Danke menantangnya.

"Filosofi gunung berapi, kematian membawa kehidupan kekal. Namun, siapa yang ingin cepat mati dalam hidup ini?" Greta Reiko menantang balik.

"Maka jadilah gunung api. Gunung api bisa mati. Namun, kehidupan di kakinya adalah harga kematian itu. Setelah berarti lalu mati, begitu kata penyair pujaan negeri nenek moyang kita."

"Salah, Danke. Sekali berarti sudah itu mati. Itu kutipan puisi Chairil Anwar, penyair Bohemian yang mendobrak gaya Angkatan Pujangga Baru. Tapi kamu benar soal gunung api. Sekalipun mati, gunung api pernah berarti bagi bumi, kan?"

Irikah Danke kepadaku karena aku ada di perut gunung api?

Kembali di usianya yang tiga puluh delapan, Greta Reiko mengira-ngira isi hati Danke, kalau saja si lelaki melihatnya saat ini. Dari Dunia Lain apakah semua perkara dunia terlihat bak penglihatan spektrum gaib, ataukah Danke mengetahuinya dengan membaca pikiran Greta Reiko yang bermimpi janggal soal gunung api?

Magma merah yang dipijaknya sudah memadat, mendingin sekedip matanya membentuk dataran keras, biru warnanya, boleh jadi karena biru melambangkan dingin, perlawanan dari panasnya api yang memerah dan cemerlang. Dinding perut gunung pun membiru, membentuk pagar tinggi, ataupun tembok, atau mungkin pintu-pintu?

Kisah Museum KehilanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang