"Dia masih hidup! Astaga, akhirnya dia bernapas lagi!"
"Greta? Greta Reiko? Kamu tidak apa-apa? Ya Tuhan, darahnya banyak sekali!"
Labirin itu berhasil dilaluinya dengan tak mudah, berhati-hati karena hidup dan mati taruhannya. Tekad kuatnya yang menang, karena ia berhasil tak memilih mati di labirin biru. Rupanya labirin tadi bukan mimpi. Itulah pergelutan maut mempertahankan nyawanya, karena seorang Greta Reiko nyaris saja dikalahkan kematian. Sebetulnya rasa cemburu yang mendorongnya hidup. Ia mendengar kehidupan di sisi luar labirinnya. Suara mereka yang tidak berada di dalamnya. Mereka yang bernapas, mereka yang berseru-seru cemas. Ya, tiba-tiba saja pintu putih kayu itu, bagus bentuknya, membuka jalan yang tak kelihatan, dan begitu saja ia bernapas lega setelah tersesat, karena maut yang sekonyong hadir luput menguasainya.
Agaknya dan sepertinya, sebuah bola kasti menampar kepalanya. Olahraga yang dibawa ke Hindia Belanda, adaptasi dari bisbol dan sofbol. Kasti pun asalnya dari kata Belanda, kastiebal. Olahraga sekolah dasar yang umum di Esperanto, dan bermimpi pun tidak, Greta Reiko yang tidak atletis tertimpa celaka di hari pertama bersekolah di tahun ajaran baru.
Bola kasti standar bahannya karet, merah warnanya, namun sekolah Greta Reiko memakai bola tenis hijau, tepatnya warnanya serupa lemon mengkal. Masalahnya bola tenis jika mengenai dahi akan lumayan fatal akibatnya. Bila seandainya bola karet yang dimainkan, mungkin Greta Reiko yang nahas tak separah itu terhantam bola.
Kenyataannya, bukan sekadar hidung patah dan berdarah, Greta Reiko merasakan ada yang remuk di tulang rongga matanya. Sempat berhenti bernapas, herannya cedera yang dialaminya tidak seserius kelihatannya. Tidak ada pembengkakan otak. Tidak ada kejang-kejang ataupun gejala gegar otak yang ditakutkan. Dia baik-baik saja, kecuali kehilangan penciuman selama dua tahun dan satu bulan. Kompensasinya ia diberi sesuatu yang tak dimiliki seorang pun, yakni kemampuan membaca pikiran orang di dekatnya.
Ini kematiannya yang pertama kali, dan ia diizinkan kembali hidup saat usianya delapan tahun. Ia memutuskan tak bermain kasti setelah itu.
Dua puluh dua tahun setelah Greta Reiko tak jadi mati, ia menghadapi perempuan matang yang memutuskan mati gantung diri, tapi niatnya gagal karena nasib. Kebetulan, perempuan itu kliennya. Baik atau buruk, nasib itu menyebabkan kipas angin dinding tak kuat menahan tubuh si klien, dan ia terempas bersama kipas dan tambang di lehernya, menggagalkan keinginannya untuk mati.
Bukan tanpa sebab, si klien ingin mengakhiri hidupnya. Vonis bahwa penyakitnya terminal dan waktunya tak lama lagi, menyebabkan pikiran pendek yang disesalinya kemudian. Ia menyesal tidak bisa mati saat itu, dan tak lagi punya keberanian untuk bunuh diri. Setahunya, Greta Reiko adalah pemulih batin paling ternama di negeri ini.
Bila dihitung sejak mati suri di usia delapan tahun, Greta Reiko seharusnya tiga puluh tahun, karena sudah dua puluh dua tahun berlalu. Nyatanya ia secara hukum berumur dua puluh delapan, tidak menikah, pekerja keras, dan punya pengaruh nama besar di masyarakat Esperanto. Ia mengakui dirinya pemulih batin yang munafik. Yang termunafik di antara yang paling munafik.
Melalui konsultasi telepon, si klien perempuan ditodongnya tajam. Pertanyaannya, bila kamu menjelma kupu-kupu Greta Oto, kamu akan berbuat apa dengan hidupmu yang dua minggu ke depan sudah tak ada lagi.
A. Kamu akan meratap menyesali nasib burukmu
B. Kamu akan tertawa agar melupakan nasibmu yang tak beruntungTanpa perlu menunggu jawaban, Greta Reiko tahu si klien punya jawaban C. Ia akan diam saja, dan menunggu sisa waktu itu berlalu. Tidak tertawa, tidak pula menangisinya. Namun, tidak ada pilihan lain, si klien harus memilih antara A dan B, dan ia tahu sebagian besar klien terpaksa mengambil jawaban B, karena Greta Reiko ternama sebagai pakar penyembuh batin dengan terapi tawanya yang kontroversial. Pasalnya, cara-cara yang dianjurkan di medsosnya ternyata tidak manjur seluruhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Museum Kehilangan
General FictionMuseum Kehilangan dulunya Museum Patah Hati yang menyedihkan. Greta Reiko sang pemilik sadar, bukan patah hati yang paling sengsara, tapi kehilangan mendalam, itulah kesudahan dari hidupmu. Setiap benda patah hati diwakili sebuah Pintu Kehilangan be...