Pintu Kebenaran Kesatu (8)

29 4 0
                                    

Satu bulan yang lalu, Gracias de Nada mengolok bulan sabit dari jendela mobilnya selagi jalanan lengang, menertawakan dirinya yang cukup bodoh memercayai suami lugu dan undangan putihnya. "Bisa kulihat, Danke dear, bulan sabit adalah bulan kesayanganmu. Kenapa bukan purnama saja? Lalu undangan itu, kamu mendapatkannya dari seorang maniak, ya?"

"Diam saja dan kemudikan mobilmu dengan cermat. Kamu baru saja dapat SIM, jadi berhati-hatilah dan jangan meleng." Danke menginstruksikan dari jok belakang, karena sempat-sempatnya Gracias meneliti parasnya di kaca spion tengah atau center mirror, meski yang terlihat cuma mata, alis, dan sebagian keningnya saja.

"Anggap saja ini persiapanku untuk bercerai, Danke. Dengan begini aku tak perlu mengandalkan supir pribadi, kan? Berhubung katamu ini terakhir kalinya kita pergi bersama, maksudnya aku perlu sedikit pamer, jadi kamu tahu betapa hebatnya mantan istrimu di ..."

"Awas! Anak kecil itu jatuh dari mobil! Cepat banting setir!" Danke memerintah istrinya, persis begitu ayahnya meneriaki ibu Danke sebelas tahun silam.

Kejadiannya sangat cepat, kronologi identik dengan memori Danke semasa remaja dulu. Ibu Danke melaju dengan kecepatan lumayan tinggi, dan seorang anak balita terjatuh dari kabin penumpang mobil. Sepertinya pintu mobil tidak terkunci dengan baik, dan si anak tertidur bersandar pada pintu mobil. Ibu Danke banting setir karena untuk mengerem pasti takkan sempat, mengingat kecepatan mobil melayang 80 km/ jam, tak ayal mobil merah mereka menerobos pagar pembatas dan langsung terjerembab ke dasar jurang.

Danke dewasa menyadari dejavu kali ini bukan tipuan memori otaknya, karena Gracias, seperti ibunya dulu membuang setir ke kiri, menghindari tubuh si anak yang terjatuh, dan mobil mereka yang juga merah kelirnya melanggar pembatas jalan dan agaknya, dalam ingatan Danke yang gelap, berguling beberapa kali sebelum terempas di dasar ngarai. Untungnya Danke tak terikat sabuk pengaman yang semestinya meloloskannya dari maut, seperti dulu, kejadian yang menimpanya di usia 19 ketika itu.

Satu bulan kemudian, Danke 30 tahun menyadari, ia bukanlah dirinya yang dulu, Danke yang punya segalanya kecuali pernikahan sempurna, dan semua ingatannya mengenai sang istri nyatanya palsu belaka. Satu bulan silam, mereka tak mencapai tempat tujuan di Kreska Luno. Ternyata Danke yang selamat dari kecelakaan baru memenuhi undangan putih satu bulan berselang, sendirian tanpa sang istri yang kabarnya dalam kondisi antara hidup dan mati. Mengapa ia sama sekali tak mengingat peristiwa sesudah kecelakaan? Bagaimana bisa tak selintas mata pun ia mengingat Gracias yang terbujur koma di ruang ICU?

"Istriku koma, bukan?" Pertanyaan ini seharusnya lebih panjang. Bagaimana mungkin aku tak sedikit pun ingat apa yang menimpa dirinya?

Anggukan kepala membenarkan syak menyakitkan itu, bahwa sangat mungkin Danke sudah gila dan hilang ingatannya. Mungkin bukan gila, tetapi berubah akal, seperti seorang suami yang memperlakukan istrinya yang tak lagi bernyawa selayaknya masih hidup, dan akhirnya jenazah sang istri tersimpan sekian lama sampai berbau membusuk.

"Lalu aku sendiri ... sudah gila?" Danke menutup wajah dengan kedua tangan, berharap begitu matanya celik, kenyataan pahitnya bersalin rupa, mimpi buruk yang berlalu dalam semalam.

"Anda terikat oleh kebencian seseorang. Ada seseorang yang membenci dan mengutuk Anda setiap harinya, hingga kutukan menjelma takdir yang mencengkeram Anda. Pernahkah Anda merasa ada sesuatu yang hilang dari memori Anda?" Si perempuan angkuh membuang muka, meski lawan bicaranya menutupi wajah dan jelas tak memandang ke arahnya.

Ya. Ada ingatan yang tersobek. Danke mengakui dalam hati. Lalu rasa familier pada kafe dan museum bawah tanahnya. Ini jelas bukan kunjungan pertama Danke, sementara satu bulan yang lalu ia gagal mencapai kafe Kreska Luno setelah kecelakaan tunggal itu.

Kisah Museum KehilanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang