Negeri kami, Esperanto punya legenda turun temurun mengenai pohon dan perempuannya. Setiap pohon dalam kepercayaan kami dihuni peri perempuan, yang kemudian menurunkan suku asli negeri kami. Sayangnya karena pandemi virus mematikan, populasi suku asli musnah, dan kabarnya arwah mereka kembali menyatu di pepohonan Nigra Arbaro, nama hutan yang dikeramatkan di negeri kami, dan tak satu pun manusia berani menyentuh sehelai rumput di wilayah larangan itu.
Konon, seorang perempuan suku asli berhasil selamat, berkat jimat yang dimilikinya, flower of flesh and blood yang sangat langka. Saat terjangkit penyakit, si perempuan meramu bunga itu di air mendidih, dan meminum sari patinya. Si perempuan tidak mati dan menjelma seorang penyihir berkekuatan putih. Hidupnya sangat panjang di hutan larangan, dan berpuluh-puluh tahun kemudian ia membaur di antara pendatang asing, mengaku berdarah India dan melahirkan seorang putra yang sehat dan cerdas.
Tak ada yang tahu rahasia si perempuan penyihir, yang melahirkan anak pertamanya di usia 75 tahun. Secara fisik, ia tampak seperti 25 tahun dan tak ada yang tahu berapa panjang usianya, karena setelah putranya menginjak 21 tahun, ia kembali ke rumah yang dicintainya, di antara rimbunan Nigra Arbaro, hutan yang begitu subur dedaunannya hingga sinar matahari tak menembus dan mendapat hujan sangat sedikit sekali. Yang jelas tak satu warga pendatang pun berani menginjak hutan hitam itu.
Danke terkesima pada Nigra Arbaro sejak kecil. Apalagi ada seorang gadis, teman bermainnya sejak balita, mengaku keturunan dari penduduk asli Esperanto, leluhurnya peri Hamadriad, dengan sendirinya menjadikan si gadis keturunan peri pohon yang indah dan misterius. Ayah si teman keturunan Hamadriad, dan ibunya pendatang dari negeri yang jauh.
Nama dan wajah gadis temannya itu tak diingat Danke. Ada bagian dari ingatannya yang dikoyak secara paksa. Dan rahasia tentang hutan dan penyihirnya pun baru diingat Danke sekarang. Dulunya ia sudah lama lupa soal Nigra Arbaro dan manusia di Esperanto segan membahasnya, karena hutan itu sepertinya terlarang juga untuk diobrolkan.
Hutan larangan itu nyata di depan matanya, Danke 30 tahun yang agaknya familier dengan hutan ini, meski ia tak ingat kapan berada di dalamnya. Ada legenda yang dulu diingatnya, sepertinya dulu sekali dan ia tak ingat lagi sesudahnya.
Pepohonan ganjil itu batangnya putih tua, tidak mengilap, namun bila terpapar cahaya kunang-kunang, terlihat keemasan berkilatan bak bunga api. Bila diperhatikan wujud batang pohon persis lekuk tubuh perempuan, dan setiap pohon memiliki wajah yang samar-samar. Kamu bisa melihat alis, mata, dan dahi, juga hidung dan bibir yang kecil mungil. Danke bahkan merasakan setiap batang pohon bernapas dan mengerling ke arahnya.
Usia pohon ini jauh lebih tua dari tanah kami. Danke berpikir. Sebagian ingatannya kembali, sebagian lagi menyerupai foto buram yang tidak fokus. Sepertinya ada legenda pepohonan yang tumbuh di atas sungai, beribu-ribu abad yang lalu, hingga akhirnya sungai mengering dan terbentuklah daratan Esperanto yang sempit. Dulu pun negeri ini tidak dinamai Esperanto. Namanya Negeri Pohon kalau tak salah. Tero de Arbo dalam bahasa Esperanto, karena Esperanto bukanlah bahasa penduduk asli negeri ini.
Perempuan pemilik kafe dan museum itu tentulah bukan manusia biasa. Mungkin ia adalah Hamadriad dan penghuni pohon gaib. Hamadriad punya sihir yang spesial, ia bisa menjelma apa pun yang ia mau, dan mungkin bisa berwujud manusia biasa dan membaur di masyarakat. Mereka hidup berabad-abad lamanya, tidak menua dan tidak terikat hukum waktu manusia biasa. Herannya Danke merasa penampakan hutan ini tidak riil, seperti melihatnya secara virtual melalui kacamata khusus. Tentu, Danke yang mencoba menggamit batang pohon seperti menerpa udara sejuk.
Sesosok bayangan hitam berdiri tepat di hadapannya. Entah dari mana datangnya, seakan begitu saja hadirnya. Figurnya langsing seperti perempuan muda, tetapi rambutnya panjang hingga menyentuh mata kaki. Ini bukan Greta Reiko, pastinya. Bisikan-bisikan siul angin seakan mengalunkan mantra-mantra bahasa asing, seperti bahasa peri yang melodius dan gaib, nada tinggi yang tak tercapai manusia penyanyi awam, bahkan soprano primadona pun tak mampu mencapai ketinggian melodi nan menyitir kalbu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Museum Kehilangan
قصص عامةMuseum Kehilangan dulunya Museum Patah Hati yang menyedihkan. Greta Reiko sang pemilik sadar, bukan patah hati yang paling sengsara, tapi kehilangan mendalam, itulah kesudahan dari hidupmu. Setiap benda patah hati diwakili sebuah Pintu Kehilangan be...