Pintu Kebenaran Ketiga (10)

27 3 0
                                    

Burung kakaktua

Hinggap di jendela

Nenek sudah tua

Giginya tinggal dua

 

Trek dung trek dung

Trek dung la la la

Trek dung trek dung

Trek dung la la la

 

Trek dung trek dung

Trek dung la la la

Burung kakaktua

 
Lagu kesukaan Danke, dalam bahasa leluhurnya Indonesia, dan dulunya bisa dinyanyikan semua anak kecil di negeri Nusantara, sebetulnya berlirik kurang santun, dan Danke yang buta nada tak menyanyikannya dengan ketukan pas. Namun, cukup bagus untuk sekadar menghibur gadis tujuh tahun yang dihujat ledekan si gigi ompong Greta.

"Hohohoh! Greta Ompong giginya ompong, sudah tanggal dua-duanya! Persis nenek-nenek tua! Amit-amit!"

Maka, Danke memberitahu Greta yang dua giginya ompong, bahwa nenek yang sudah tua, justru giginya tinggal dua, bukannya tanggal dua, karena selain dua gigi depan, gigi Greta sudah tumbuh semua, perubahan dari gigi susu ke gigi tetap yang sedikit terlambat. Danke sendiri sedari TK sudah mendapatkan gigi permanennya, seperti teman-temannya yang sempat ompong beberapa saat. Maka tak ada yang meledeknya karena semuanya rata-rata senasib sepenanggungan.

"Apakah orang Jepang selalu terlambat ganti gigi? Tapi orang Jepang dan orang Indonesia kan sama-sama Asia, kata mamaku. Kenapa pertumbuhan gigimu beda dari aku dan teman-teman kita?" Danke menanyai sang sahabat yang masih menutupi mulutnya.

"Gigi-gigiku bandel, Danke. Terutama yang gigi depan ini. Makanya peri gigi kasihan padaku dan aku diberinya dua permen enak ini."

Si gadis cilik mengulurkan sebutir permen rasa mangga. Persis mangga arum manis, pikir Danke. Dan sesudahnya tak pernah lagi ia mencicipi permen yang begitu wangi dan legit. Sayang ia tidak menyimpan bungkusnya sebagai kenang-kenangan. Bahkan, bertahun-tahun sesudahnya, gadis itu dan Danke masih membahas permen misterius yang sayangnya, tak mereka ingat baik nama merek apalagi asal-usulnya.

"Pasti itu pemberian peri gigi. Tak salah lagi. Di negeri kita tidak ada permen seenak itu. Candy floss saja kalah lezat!" Danke berkomentar suatu hari. Usianya sepuluh tahun ketika itu.

"Memang, permen itu tahu-tahu ketemu di bawah bantalku. Setahu aku, mama benci makan permen. Kalau aku makan candy floss, mama juga tidak senang dan aku tidak dikasihkan camilan sore." Si gadis cilik menggerutu.

"Peri gigi pilih kasih. Mungkin karena namamu Greta Reiko, makanya kamu dimanja. Peri gigi di Esperanto penjelmaan Greta Oto, kan? Memang mirip tuh sama namamu."

Aroma getah mangga bersemilir. Danke tahu dari neneknya, getah mangga baunya sangat menggiurkan. Neneknya itu ahli soal tanaman tropis dan burung-burung surganya, karena dari penjelasan nenek, burung-burung tropis bulunya cerah dan menakjubkan. Danke menyebut bulu-bulu burung sebagai jubah untuk terbang.

"Semua warna yang kamu tahu tak ada tandingannya dengan bulu-bulu mereka. Jangan meremehkan bulu burung, Danke. Struktur bulu mereka kokoh sebagai alat terbang utama, meskipun bobotnya seringan kapas. Setiap helai punya fungsi yang saling mendukung untuk terbang. Bahkan sisa sayap, yakni bagian ujung berbulu berguna sebagai baling-baling dan pengendali terbang. Nah, kemudi burung itu justru ada pada ekornya, Danke."

"Wah, keren ya, Nek. Oh ya, Nek, boleh aku memanggilmu Nek dan bukan Avino? Mama bilang aku harus memanggilmu dengan sebutan bahasa Esperanto. Tapi kurasa Nenek terdengar lebih akrab dan manis. Tidak apa ya, Nek?"

Kisah Museum KehilanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang