Museum Kekosongan (4)

48 6 0
                                    

"Ah sayang, aku lupa. Menurut peraturan perusahaan, kisah terbaik harus diceritakan paling akhir. Jadi sebagai kejutan menyenangkan, spoiler-nya takkan aku bocorkan sekarang. Save the best for last, seperti ungkapan yang kita hafal mati itu. Pesan botol kaca itu tak boleh diketahui dulu." Greta Reiko tercenung, kedua tangannya mengatup bibirnya, menahan keinginan berkisah lebih jauh.

"Wah, saya amat terkesan dengan pelayanan Anda, Bu. Museum ini sendiri betul-betul kejutan sejauh ini." Danke mengatur intonasinya selugu ia bisa, agar tak diartikan pernyataan sarkastis.

Sepertinya dulu, ada seorang gadis yang mengatakan hal sama pada Danke. "Sparu la plej bonan por la lasta, Danke. Sabarlah, bila tidak kamu bakal menyesal tahu lebih dulu."

Siapa kira-kira yang berucap begitu? Gracias de Nada, istrinya? Bukan, sepertinya.

Istrinya memang lumayan lucu, namun tipe yang lurus. Bukan tipikal sok misterius atau senang main rahasia segala. Danke tahu pasti siapa istrinya dan paham, pikiran perempuan calon mantannya itu seberapa dalamnya. Atau gampangnya begini, perempuannya itu bukan bodoh memang, namun sifat blak-blakannya pantang berbelit-belit. Alhasil, cukup mustahil Gracias menganggap rahasia idem kejutan di akhir cerita. Mustahil pikirannya sanggup sejauh itu berpikir.

"Ah, lihat diari itu, kenapa ada yang terkoyak halamannya? Lagipula robeknya di bagian tengah. Seperti sengaja dihilangkan paksa, begitu?" Danke menemukan benda misteri satu lagi, buku harian itu mirip punyanya dulu. Hanya saja, ia tahu pasti, buku diari miliknya tidak sobek karena dirawatnya berhati-hati.

"Sayangnya ini juga bagian dari kisah terbaik itu. Jadi mesti diceritakan paling akhir, Tuan Danke."

Masyarakat Esperanto biasanya tidak menyebut nama depan seseorang, kecuali sudah sangat akrab dan dekat. Bila kami menyapa Tuan, Nona dan Nyonya, maka yang dipakai adalah nama belakang yang dianggap nama keluarga. Danke, dalam situasi formal, terutama di lingkungan politisi, disapa Tuan Pariwara, karena nama panjangnya Danke Syehan Pariwara. Maka baru kali ini ia mendengar nama Danke miliknya dipasangkan dengan "Tuan" yang janggal dan tak lazim.

Istri Danke sebetulnya tidak setuju ia berpolitik. Adapun Danke terpilih sebagai anggota dewan dan mereka hidup berkecukupan selama ini. Perceraian mereka sebanyak dua kali termasuk aneh. Bila dirunut lagi, penyebabnya tak pasti, semacam penyakit idiopatik yang susah ditentukan sebab musababnya apa. Cinta itu, datang dan pergi dengan cara yang sama, menurut buku yang dibaca Danke dulu, begitu saja tanpa disadari dengan logika sewajarnya.

Museum putih ini jauh lebih lapang dari taksiran Danke. Visual manusia memang kerap tertipu. Maka, Danke tak yakin dengan display kosong di sudut museum, dikiranya matanya berulah dengan tipuan optis yang meyakinkan. Diamatinya tiap sudut kotak kaca dengan keheranan.

"Maaf, itu tidak kosong. Kami tidak pernah memajang kotak kosong, demi untuk mengisi kekurangan saja. Oh ya, dalam dunia politik, terkadang kotak kosong dipakai untuk melawan diktator, kan?" Greta Reiko tanggap, membaca kebingungan Danke eksplisit.

"Sayangnya, kotak kosong bila menang pun hanya omong kosong. Itu cuma bentuk perlawanan saja. Bayangkan bila negeri ini dipimpin kotak kosong, bukankah akan sangat celaka?"

Danke melempar pernyataan yang menggelitik. Kebetulan ia pernah nyaris mengusung kotak kosong untuk melawan walikota yang korup. Untungnya seorang kandidat kompeten maju di pemilihan dan mengalahkan pejabat korupsi itu akhirnya.

"Wah, sungguh menarik sekali, Tuan Danke. Kotak kosong di museum ini untungnya bukan omong kosong. Benda di dalamnya diminta kembali oleh sang empunya, dan sebagai gantinya kami menyimpan spiritnya dalam kotak ini. Tapi kotak ini tidak akan lama kosongnya."

Kisah Museum KehilanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang