05|Bunda

326 68 6
                                    

Seberat apapun hidup seorang anak laki laki, tempatnya mengadu tetap saja dimana ibunya berada.

---

Giwang terengah engah, napasnya memburu tapi senyum puas terpahat nyaman diwajah lelaki penyuka susu kotak rasa cokelat itu. Pohon dekat lapangan menjadi tujuannya karena sudah kelelahan dan tidak kuasa kembali ke kelas, Giwang merebahkan diri menatap daun daun yang bergoyang seirama dengan hembusan angin.

"GIWANG?" Teriak Nizam.

Giwang mengerutkan alis dan membuka pelan matanya, Nizam mengganggu tidur yang baru lima menit.

"BUSET, JAGOAN LU BEGITU!!?" Aldevan melotot mendapati Giwang acak acakan.

"Izin ke toilet tapi jadi bonyok begini, ikut demo BBM lo?" Zayyan mengejek

"Giwang nih? Bolos buat berantem, pertama kalinya" Theo memberikan tas kepada empunya, "Thanks Yo"

Aldevan memandangi Giwang yang masih bisa tersenyum dengan kondisinya yang seperti itu, kalau dirinya jelas masih akan tertawa, tapi Giwang? Apa tidak takut dengan ocehan bundanya nanti? Tumben sekali.

"Ini ngomong ngomong dari pada lu bahas yang nggak penting, mending bantuin gue dulu buat nutupin luka luka ini bocah. Bisa digeprek bunda lu, Wang!"

"Nggak, apa apa. Yang dihukum juga gue, bukan lo"

"Mana bisa begitu!"
"Zayyan, lo biasanya make up-an kan kalo mau shooting? Ini bisa ditutup pake make up gitu ngga?"

"Gila, muka babak belur kayak gitu mana bisa ditutup pake make up, operasi plastik sono lu"

"Sial" Umpatnya, khawatir jika nanti bundanya marah, beberapa hari ini memang Aldevan lumayan sibuk memikirkan bagaimana meluluhkan kerasnya pendirian Amina, tapi malah membuatnya berfikir yang tidak tidak.

Giwang justru mengobrol dan tertawa, membicarakan entah apa bersama Theo. Sebenarnya Aldevan sedikit takut saat pulang nanti, bukan karena dia akan dimarahi tapi hukuman yang mungkin akan Giwang terima dari bundanya. Amina jarang memarahinya, dan ayahnya pasti akan selalu menegur tapi tidak sampai hati menghukum.

"Lo gimana, mau pulang?" tanya Aldevan

Giwang mengangguk menatap Aldevan.

Tatapannya begitu yakin, tidak seperti beberapa waktu sebelumnya yang terlihat takut. Sedikit rasa lega Aldevan rasakan, setidaknya Giwang tidak menjadi penakut seperti kemarin. Terkadang perubahan sikap Giwang setelah dimarahi Amina sangat terlihat jelas, menjadi diam dan murung.

"Lo kenapa?" Giliran Giwang bertanya pada Aldevan yang sedari tadi diam.

"Ini lo nggak akan dimarahi? Kalo yang bonyok gue sih nggak apa apa, tapi ini lo"
"Gua bisa dimarahi ayah, lo tadi ngapain sih?"

Giwang mengangkat salah satu sudut bibirnya, memperlihatkan senyum tipisnya. "Tenang aja, nanti gue belain"

"Heh, mana bisa!? Bela diri sendiri aja nggak berani, sok sokan mau belain gue"

Giwang tertawa mendengar ejekan Aldevan, dimana hal itu ada benarnya. Sedikit penasaran ternyata Giwang dengan reaksi bunda, jika dia berulah terang terangan seperti ini.

Di dalam rumah sudah ada Amina dan Robi yang sedang mengobrol di ruang tamu.

"Sial bener hidup lo, Wang, bunda sama ayah udah pulang" Ucap Aldevan saat mengintip dari jendela.

"Aku pulang" Giwang malah langsung masuk kedalam rumah, tanpa diskusi dengan Aldevan.

"LOH... SI ANYING INI!!" Aldevan menahan suaranya supaya tidak terlalu keras.

THE SALVATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang