48|Case 2 : Mental Disorder

215 42 25
                                    

Mengeluhlah, marahlah, menangislah, luapkanlah.

---

Robi beranjak mengambil segelas air minum untuk Giwang, setelah memastikan si bungsu menurut duduk di sofa.

Sejak tadi sudah Robi amati, anaknya itu tidak bernapas dengan tenang dan kakinya selalu menghentak pada lantai. Kebisaan ini lumayan sering tertangkap indranya, Robi sering berhadapan dengan orang - orang bermasalah di ruang sempit nan gelap, siapapun dia yang menghentak kaki semacam Giwang lakukan pastilah sedang gelisah. Tidak perlu bertanya, Robi sudah paham karena memiliki pengalaman.

"Tenang" Ucap Robi tiba - tiba menyentuh dada Giwang dengan telapak tangan kanannya, dari belakang sofa setelah meletakkan gelas itu di meja kecil disamping mereka. Sedikit membuat anak itu tenang meskipun juga agak terkejut.

Deg, deg, deg.. Detaknya tidak beraturan, terlalu cepat. Tangan Giwang lemas bertengger di samping badannya sampai basah karena keringat, matanya hanya bisa berkedip sembari sesekali melirik pintu tengah, takut jika bunda datang dan menemukannya.

Tapi ternyata Giwang hanya lebih takut dengan skenario dipikirannya sendiri...

Deg, deg.. Masih gelisah dan kakinya semakin cepat menghentak lantai. Tangan itu terasa hangat, menekan dadanya untuk memaksa berdetak seperti biasa. Disisi lain, pikirannya nekat menelusuri memori yang dulu, tangan yang mirip seperti ini, yang pernah mengusap kepalanya, yang pernah menangkapnya saat hampir jatuh, yang pernah membantunya mengusap air mata, yang membantunya mengatasi rasa takutnya. Tapi kini, tangan dalam ingatan itu bertanggung jawab atas rasa takut, rasa cemas, gelisah, dan tidak nyaman yang sekarang dia alami. Tangan besar dan kokoh yang pernah hangat namun sekarang serasa menyayat. Giwang terpejam, memaksa menelan kenyataan ; Ayah kandungnya mengadopsi anak laki laki, teman sebangkunya, teman (yang dianggap) baiknya, Theo.

Deg, "Ayah.." satu kata ambigu mecelos dari mulutnya.

"Hm.. Tenang dulu, napas pelan pelan" Kata Robi sembari mengelus dada Giwang.

Rasa takutnya berbaur menjadi satu, seakan akan semua ini terjadi karena keberadaan Giwang, seakan akan dunia ini sedang menghukumnya atas kesalahan yang entah apa. Satu, dua, bahkan puluhan pukulan dan makian tidak akan membuatnya goyah, tapi amarah bunda dan diamnya ayah ternyata membuat batinnya tersiksa.

"Senderin dulu kepalanya ke sofa, pusing kan?"

Giwang tidak menjawab dan hanya menuruti apa yang Robi katakan. Tanpa sadar netranya menggenang, Giwang berusaha mengusapnya agar tidak jatuh, malu jika ayah melihatnya. Namun sia sia, air matanya jatuh tanpa perintah, Robi tentu bisa melihatnya dengan jelas, mereka terjun bebas melewati lekukan tulang pelipis putranya.

"Kenapa?" Tanya Robi dengan suara pelan, seakan berbisik.

"Lelah ayah, Giwang capek"

Mengeluhlah, Giwang mengeluhlah, marahlah, menangislah, luapkanlah.

"Kenapa? Ada masalah apa?"

Sulit rasanya harus mengatakan sesuatu yang begitu menakutinya, pikirannya melayang, menelusuri lorong yang menyimpan ruang - ruang kesengsaraan. Zayyan, Adam, Theo, Bunda, bahkan Yaksa yang tidak memiliki keterkaitan dengan ini semua memaksa muncul dipikirannya.

"Ternyata bunda nggak mau Giwang ya?" Suaranya gemetar, "Katanya Giwang itu kesalahan, tidak diinginkan--"

"Siapa yang bilang? Apa Devan kelewatan kalo berantem sama kamu? Ngomong yang aneh aneh, iya?"
"Tidur kamar ayah aja malam ini, jangan sama Devan dulu"

THE SALVATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang