[59|Jika Masih Ada Waktu]

199 32 6
                                    

Kalau aku mati malam ini, aku menyesal karena belum mampu meminta maaf dengan benar. Kalau aku hidup malam ini, bagaimana caraku menghadapi Giwang yang sekuat ini?

===

Pagi ini aku bangun seperti biasa, selalu lebih pagi dan masih bisa melihat Aldevan yang terkadang aneh posisi tidurnya. Hari ini seperti biasa juga, kami berangkat sekolah dengan busway yang melewati halte dekat rumah kami.

"Ayo sekali sekali ke halte di sana--" Aldevan menunjuk jalanan disebelah kanan rumah kami, "--gue belum pernah ke sana."

"Kejauhan." Kataku karena malas menanggapi. Kemudian Aldevan mengikuti aku yang selalu berjalan ke kiri tanpa mau melirik ke kanan, aku tidak masalah dengan hidup yang monoton dan lurus lurus saja, tapi rupanya Aldevan bosan, rasa penasarannya selalu menang.

Suatu pagi yang berbeda, aku dan Aldevan berangkat seperti biasa. Tapi justru hari ini dia bangun lebih pagi, bersiap siap lebih lama dan penampilannya begitu rapi. Padahal tidak ada yang istimewa.

"Mau kencan?"

Dia menggeleng, namun tersenyum dengan tulus menatapku tapi tidak memberikan jawaban.

Sampailah kami didepan rumah, pilihan kembali membuat kami bingung. Aldevan tanpa bertanya atau mengajakku, dia memilih melangkah ke kanan. Aku memanggilnya berkali kali, tapi rupanya disisi lain ada yang juga ikut memanggilku; Giwang, Giwang, Giwang! Berisik dan aku mengabaikan suara mereka demi menatap kemana Aldevan melangkah.

"Mau kemana? Sekolah lewat sini, Dev! Kejauhan kalau lewat situ!" Aku berteriak, kakiku rasanya tidak mau mengikuti perintahku untuk mendekatinya.

"Di sana ada Mama--" Aldevan tersenyum lagi, silau karena di sana arah matahari terbit, aku kesulitan melihat Aldevan dengan jelas. "Giwang mau lihat Mama nggak? Tapi tanya Mama dulu ya, boleh apa enggak."

Giwang mengangguk, "mau! Ayo ketemu Mama, gue ikut!"

Tiba tiba Aldevan mendekatiku, dia masih saja tersenyum dengan lebar sampai matanya terlihat segaris-- ah senyum itu mirip denganku rupanya, mungkin merasa sangat senang karena menemukan ibunya. "Giwang, gue mau ajak lo, tapi kata Mama nggak boleh. Kata Mama, Giwang harus temani ayah di rumah. Nanti kalau kata Mama sudah boleh, gue bakal datang jemput kok. Nggak mungkin kan, adik gue sendirian?"

"Lo yakin kalo itu Mama, Dev?"
"Nanti kalo bukan gimana? Bukan gue yang sendiri, malah lo yang sendirian, kan?"

"Yakin-- gue dengar Wang, walaupun gue lupa suara Mama seperti apa, tapi gue yakin itu Mama yang nungguin gue buat datang--" Aldevan mengelus kepalaku pelan, "--nanti kalo ketemu Zayyan, gue juga bakal sampaikan salam dari lo, Nizam, Theo. Semua! Gue bakal ceritakan semua ke Zayyan."

Suaranya terdengar begitu riang, Aldevan mungkin akan menangis bahagia karena bertemu ibu yang dia rindukan, tapi aku mungkin akan menangis karena ingatan yang seperti hukuman. Bagiku, dunia ini melelahkan, aku ingin mengikuti Aldevan yang pergi ke kanan. Dengan jelas bisa kulihat mereka yang pergi meninggalkanku tersenyum satu sama lain di sana. Aku mau ikut.

"Gue nggak bisa sendiri, Dev!"

Aldevan menggeleng dengan kuat, "omong kosong macam apa itu? Lo bisa Wang, selama ini lo lakukan semua sendiri, kan? Sekarang lo terlatih, ada atau nggak ada gue bukan masalah besar!-- Mungkin malah gue yang bakal sedih karena nggak mampu berhadapan sama lo setelah semua yang terjadi."

"Gue memaafkan semuanya, gue nggak apa apa!"

Aldevan menghela napas, tangannya mengelus pelan tengkuknya sendiri. "Ah, begitu lagi! Tapi kekuatan Giwang memang memaafkan dan selalu terlihat baik baik saja. Giwang, setelah ini hidup dengan berani ya, bisa kan? Demi gue, ya?"

THE SALVATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang