11|Kebohongan Pertama

255 62 7
                                    

Halo, minggu ini update satu chapter dulu ya gais yaa. Terima kasih untuk yang sudah menunggu🥰❤️

SELAMAT MEMBACA❤️❤️


---


Apa yang Giwang lakukan saat akhir pekan? Jawabannya tidak ada. Kadang Gramedia menjadi pelariannya agar terlihat normal, seperti remaja pada umumnya yang kalau weekend suka jalan. Kalau sudah menatap materi, Giwang tidak mudah mengalihkan perhatian. Sampai sore dan pada akhirnya hanya bisa tidur siang yang sudah tidak pantas disebut tidur siang lagi.

Pagi ini Giwang membuka mata, kesiangan rupanya. Dia melirik ranjang Aldevan dan sudah tidak ada siapapun di sana, tapi masih berantakan seperti biasa. Tidak bisa dipungkiri badannya lumayan sakit, untungnya masih bisa dia tahan. Luka ditangannya juga masih memerah, semalam tangannya sudah mati rasa, tidak dia rasakan lagi. Giwang bangun, duduk di tepi kasur, mengumpulkan kesadarannya.

"Napa lu?" Tanya Aldevan duduk di ranjangnya sendiri sembari mengusap rambut basahnya dengan handuk kecil.

Giwang melirik tanpa menjawab.

"Itu" ucap Aldevan menunjuk dengan dagunya, maksud Aldevan adalah luka baru ditangannya yang tidak sengaja dia lihat. Giwang tidak mau menjawab, dia beranjak begitu saja. Membuat Aldevan tersinggung. "GUE NANYA LO, GIWANG ALDINENDRA AKBAR!"

Giwang menghela napas pelan, "Yaksa. Udah?"

"Semalam? Semalam itu ulah Yaksa?"

"Ya"

"Biasanya lo ngelawan, nggak mau kalah sama Yaksa"

"Lo nggak tahu apa apa, Dev. Mending diem, urusin aja cewe lo"

Aldevan hampir kehilangan kesabaran, dia sela ingin bersikap seperti kakak yang baik. Bukan demi ayahnya saja, dia juga ingin menjadi saudara yang pengertian. Memiliki hubungan yang sehat dengan keluarga Hengkara, bunda tidak terlalu sulit ditaklukkan, tapi Giwang! Manusia satu ini semenyebalkan permen karet yang menempel di bawah meja dan tidak sengaja dia pegang.

"Gue nggak mau cari ribut lagi ya Wang, sama lo"

"Dan gue nggak mau nanggung hukuman dari kesalahan orang lain, lagi, Dev!"

"Giwang, tolong lah! Lo jangan kayak gini dong, dari awal kita bareng nggak pernah akur, sadar nggak sih lo?"

"Sekarang siapa yang bikin gue harus melalui ini semua, Dev? Lo pikir gue mau? Nggak! Gue nggak pantas dapat perlakuan kayak gini"

"Lagi lagi lo kayak gitu-" Aldevan berdiri memajukan tubuhnya agar lebih dekat dengan Giwang, sontak membuat Giwang mundur selangkah.

"Kalo dari perdebatan kayak gini akhirnya bakal main tangan, lebih baik gue diem dan ngaku salah. Gue sekarang nggak ada tenaga buat ngadepin lo, Dev" Mata sayu Giwang menatap Aldevan yang tertegun, sepertinya Aldevan juga lelah menghadapi Giwang.

Langkahnya lemas berjalan menuruni tangga, ingin ke dapur mengambil minum. Hari ini sepertinya hanya belajar, PS, dan tidur, membosankan seperti biasanya. Celana tidurnya menyapu lantai karena saking panjangnya, menjadikan Giwang malah terlihat seperti anak kecil yang mencari cari ibunya.

Giwang mengambil susu kotak miliknya dan duduk termenung di meja makan, "Pagi sayang" Amina mengelus kepala Giwang, menyingkap poninya dan mencium kening anak kesayangannya itu.

"Pagi bunda"
"Kerja? Bukannya weekend libur?"

Amina mengangguk, sambil mengoles roti tawar dengan selai cokelat yang ada di depan Giwang. "Bunda bakal sibuk" Amina menaruh roti yang telah dia beri selai didepan Giwang dan sisanya dia ambil, "Bunda berangkat dulu, kalo mau pergi atau butuh sesuatu kabari bunda, ya?"

THE SALVATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang