02|The King VS Nothing

407 59 25
                                    

Deklarasi perang yang tak sengaja diserukan, dia terima dalam diam.

---

Semalam jantungnya sudah hampir berhenti saat harus berhadapan dengan Amina yang menatapnya dengan nyalang. Sudah siap menerkamnya kapan saja. Agaknya dewi keberuntungan sedang berpihak pada Giwang. "Bunda nggak suka sama tingkah laku kamu akhir akhir ini, sekali lagi berulah bunda bisa marah besar, ingat itu"

Rasanya bertemu Adam membuatnya sedikit lebih berani menghadapi amarah Amina.

Ketakutan pada bunda sudah dia taklukkan, sementara. Sekarang adalah pertunjukan yang sesungguhnya, Theo. Giwang sedang bersiap untuk berangkat sekolah, bersama Aldevan. Robi sudah mewanti wanti agar kedua putranya itu melakukan kegiatan bersama, lebih baik begitu.

"Aduh, ini lagi!" Ucap Giwang mengomel karena kakinya tersandung pintu kamarnya sendiri. Aldevan hanya menatap tanpa berkomentar.

Di meja makan sudah disiapkan sarapan untuk mereka, tapi suasana rumah juga sudah sepi. Orang tua mereka sudah berangkat bekerja, Imran juga pagi pagi tadi sudah meninggalkan rumahnya, takut terlambat masuk kelas.

Aldevan menatap setiap sudut rumah yang seharusnya tidak asing lagi, merasa sedikit kosong dan agaknya rumah ini terlalu besar untuk dihuni dua anak yang jumlah obrolannya bisa dihitung jari. "Wang, kalo misal bunda kerja di luar kota, lo sendiri?"

"Ya iyalah"

"Lo berani? Kebutuhan lo gimana? Kayak makan, nyuci baju, bersih bersih rumah, lo sendri?"

"Berani sih berani, kalo nyuci sama bersih bersih rumah dulu ada orang yang bantuin, bunda sewa"

"Terus kalo makan? Lo masak?"

"Kalo nggak males sih iya, kalo males ya nggak"

"Oh pantes"

"Apa? Pantes masakan gue enak?"

"Pantes lo kurus, kayak orang cacingan, kurang gizi.." Ejek Aldevan dengan senyum yang menyebalkan. Giwang menatapnya yang sedang melahap satu roti tawar dengan selai stroberi, sembari melangkah keluar rumah.

Giwang lantas menyusul Aldevan keluar, anak itu sudah duduk diatas motor matic merah kesayangannya sembari membenarkan kaca sepion juga sekalian menata rambutnya yang menyembul dari balik helm -kesayangannya juga- yang tidak standar karena tidak memiliki kaca penutup.

Brugh...

Suara yang keras mengalihkan pandangan Aldevan untuk menoleh kebelakang, "LAH, LO MASIH NGANTUK APA GIMANA, WANG?"

"Anjirlah, nginjek tali sepatu gue" Giwang jatuh tersungkur, untungnya dia memakai hoodie yang melindungi kemeja putihnya dari noda. Lucunya, Giwang tersandung tali sepatunya sendiri.

"Sini, bangun lo" Aldevan mengulurkan tangan membantu Giwang untuk duduk, dia berjongkok meraih tali sepatu Giwang yang terlepas, seperti biasa, Giwang tidak becus menalikannya. "Ini lihat gue makanya, dua kali ini ya gue bantuin lo ikat tali sepatu, harus sungkem lo sama gue"

"Dih, buat apaan?" Giwang menatap sinis Aldevan yang cengar cengir.

"Ya... Bentuk terima kasih lo ke gue lah"

"Ogah, lo aja apelin Igemi masih pake duit patungan bensin sama gue, terima kasih terima kasih bapak lo"

Aldevan meringis menanggapi Giwang. "Sekali kali lah Wang, dukung gue gitu"

Perbedaan postur badan kedua anak itu terlihat jelas saat berkendara. Aldevan memang lebih pendek dari pada Giwang, tapi kalau mereka jalan bersandingan hampir tidak ada bedanya. Sesekali kaki Aldevan mengikuti irama drum pada musik yang terputar pada headset yang telah tersemat pada telinganya sebelum dia menggunakan helm tadi. Melodinya terkadang berantakan karena helmnya terbentur dengan helm milik Giwang, dia menundukkan kepala asik membaca komik online, mumpung ada waktu.

THE SALVATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang