53|Keluarga

198 38 12
                                    

"Jangan membunuh, ayah."
"Jangan, membunuh ayah."

---


Pagi yang damai rasanya hampir tidak pernah dirasakan keluarga Akbar. Ayah yang sibuk bekerja sampai terkadang lupa waktu, berangkat pagi pulang malam atau sebaliknya, bunda yang juga memiliki waktu bekerja yang begitu padat, dan tentunya hanya ada Aldevan juga Giwang yang selalu berebut sarapan. Namun pagi ini pengecualian, tidak ada gaduh di dapur, tidak ada suara berisik ayah yang memanasi mesin mobil bunda sebelum berangkat bekerja, kemudian kedua anak itu masih tidur nyenyak meskipun hangat matahari sudah menembus masuk melewati gorden yang dibuka oleh sang ayah.

Berantakan kamar putranya ini, dengan beberapa obat yang tergeletak sia sia di ranjang Aldevan. Sepertinya dia ingin mencari obat demam untuk meredakan demam Giwang, namun tidak sengaja tertidur, terlihat dari posisinya yang tidak nyaman. Ayah berinisiatif mengambil handuk kompres yang sudah mengering karena tidak diganti sejak tengah malam tadi, menyentuh dahi Giwang untuk memastikan demamnya.

"Kenapa nggak panggil ayah sama bunda kalau sakit?" Tanya Robi saat mendapati Giwang mulai membuka mata.

"Ayah?"

"Hm? Ayah antar ke rumah sakit, ya." Ucapnya kemudian duduk berjongkok agar bisa melihat si bungsu lebih jelas.

"Pekerjaan ayah tidak akan membunuh orang lain kan?"

Deg, "ayah ini prajurit, Giwang."

"Memang kalau begitu harus membunuh orang lain?"

"Ayah tidak bisa menolak perintah."

"Meskipun itu membunuh?"

"Meskipun itu membunuh." Robi kemudian mengelus kepala Giwang, "kenapa? Tiba-tiba tanya soal pekerjaan ayah?"

Giwang menggeleng, "Giwang bermimpi, kalau ayah akan membunuh seorang--"

Keduanya bertatapan, Aldevan disamping mendengar obrolan ini diam-diam.

"--membunuh salah satu diantara kami, Giwang atau Aldevan."

Deg. Entah kenapa, Robi merasakan niat lain dalam kalimat yang diutarakan Giwang. Sebagai prajurit situasi mendesak sudah sangat sering dia alami, tapi tekanan dari pembicaraan dengan keluarga sendiri akan terasa lebih mengintimidasi. "Itu cuma mimpi buruk, ayah nggak akan meninggalkan anak-anak ayah"

Robi kemudian bangkit, mengusap lagi kepala Giwang untuk menenangkan, kemudian melangkah keluar untuk bersiap.

"Jangan membunuh ayah." Ucapan Giwang membuatnya berhenti melangkah, "hakimi saja tapi jangan diakhiri"

"Ayah siapkan mobil, kita ke rumah sakit sekarang."

Setelah pintu kamar tertutup, setelah suara langkah kaki itu perlahan hilang, Aldevan sigap membalikkan badan menghadap Giwang, anak itu tersenyum lebar menanggapi situasi kacau ini, mengangguk dan mengacungkan jempol untuk mengapresiasi,"bagus."

Giwang membalas senyuman Aldevan, "gue rasa sekarang udah nggak punya apapun buat ditakutkan"

"Lo takut kehilangan Wang, kayak lo sekarang mati matian bela ayah lo."

"Ayah udah punya Theo, mereka lebih baik hidup tanpa ada gue lagi. Biar Theo punya kesempatan hidup yang sama kayak anak-anak seumuran kita. Gue yakin Ayah Adam memang menjadi alasan Theo untuk bertahan, gue nggak mau ada kejadian Zayyan yang lain. Menurut gue juga, mengalah bukan jalan yang salah." Habis sudah energinya, bicara Giwang sudah mulai lemas, "gue merasa kalau cuma jadi penghalang aja buat mereka, meskipun Theo memang benar menjadi anak adopsi Ayah Adam, itu nggak akan mengurangi rasa hormat gue ke Ayah. Sekarang gue mulai menerima semuanya, apapun yang terjadi sama hidup gue."

THE SALVATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang