01|Doa Dan Dosa

530 71 25
                                    

Hidup dan bertahan dengan doa, atau mati dan kekal dalam dosa?

---

Pikirannya melayang menjelajah sunyinya langit malam, kecuali sang rembulan yang menyita perhatiannya, masih bersinar dengan gagah, menegaskan tekstur yang bisa dilihat dengan kasat mata. Apa yang sebenarnya bulan itu pikirkan? Kenapa dia begitu setia mendampingi bumi meskipun tidak banyak manusia yang sadar akan kehadirannya? Sialnya, meskipun saat ini hanya ingin mengakhiri semuanya, Giwang tetap saja anak Amina yang penakut. Anak lelaki lemah yang tanpa sadar telah membuktikan ejekan teman temannya dulu.

Giwang, kembali melayangkan pikirannya. 

Selangkah saja akan mengubah kemana dirinya akan menetap. Satu langkah ke depan untuk jatuh, mati, lalu hilang semua sakit dibumi atau satu langkah ke belakang untuk menantang nasib malang yang mungkin tidak bisa hilang.

Hidup dan bertahan dengan doa, atau mati dan kekal dalam dosa?

"Kenapa? Mau mati sekarang?" Suara pria dewasa yang memecah keheningan Giwang, suara yang telah dia rindukan, suara yang bertahun tahun tidak pernah dia dengarkan namun tidak terdengar sukar.

"Ayah.."

Giwang memilih kembali pada realita.

Giwang dengan susah payah menggerakkan tubuhnya yang sudah lemas menerima perlakuan Amina, tanggul air mata yang dia bangun dengan teguh akhirnya runtuh.

Tangisnya pecah dipelukan sang ayah.

Wajah yang tidak pernah dia perlihatkan pada siapapun, bahkan Bundanya sendiri. Kini Giwang kalah, hanya sosok ayah yang bisa membuatnya menunjukkan sisi lemah seorang Giwang. Tangisnya mendayu-dayu, rasanya ingin menceritakan kesulitannya selama ini, tapi terbersit kemarahan karena sudah ditinggalkan, rasa kecewa karena harus tumbuh hanya dengan satu orang tua, rasa senang untuk pertemuan kembali, dan rasa rasa yang tidak mungkin diungkapkan hanya dengan kata kata.

Giwang ingin memeluk ayahnya untuk waktu yang lama, ingin bersandar pada bahu lebar ayahnya, ingin mengadu seperti yang Aldevan selalu lakukan pada Robi.

Adam. Hampir saja Hengkara menjadi nama belakangnya jika perceraiannya dengan Amina tidak terjadi. Seribu, ralat! Sejuta kata tidak akan bisa menggambarkan betapa eratnya Adam membalas pelukan Giwang, putra semata wayangnya.

Netranya ikut memanas, mendengar suara tangis anaknya jelas membuat hatinya teriris begitu nyeri, dadanya ikut sesak, batinnya ikut terluka.

Adam mengusap pipi Giwang yang memerah sebelah, mata kecilnya kian menyipit, "Dihukum bunda?"

Giwang mengangguk lalu memeluk Adam lagi, seolah tidak mau ditinggal sendirian, lagi. Mereka memutuskan untuk duduk, tanpa alas dan bersandar pada dinding di sana.

"Giwang salah, tapi-" ucapannya terpotong

"Ayah tahu. Ayah tahu semua yang udah terjadi" Tangan Adam yang besar namun hangat mengusap kepala Giwang.

Giwang menatap ayahnya yang terlihat begitu lembut memperlakukannya. Tanpa sepatah katapun keluar dari mulut Giwang, tatapan itu sudah cukup dimengerti olehnya. Mengerti jika putranya ingin bercerita banyak hal namun tidak tahu harus memulai dari mana.

"Maafkan ayah, yang terjadi terakhir kali, ayah memang bersalah karena memperlakukanmu begitu"

Entah karena apa, dengan masih sesengukan Giwang tersenyum, merangkul kakinya karena merasakan hawa dingin, "Ayah nggak perlu minta maaf, itu juga udah lama banget"

"Itu adalah satu satunya penyesalan ayah sebelum masuk penjara. Setelahnya ayah nggak mungkin menemuimu karena ayah tidak mau Giwang merasa malu menjadi anak dari orang yang pernah mendekam di penjara" Ucapnya sembari menepuk pelan pundak Giwang.

THE SALVATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang