57|Persembahan

199 38 12
                                    

Kita sama sama anak yang terlantar.

---

!!TRIGGER WARNING!!

===

Giwang, langkahnya tak kalah cepat dengan pasukan pimpinan Robi yang sekarang sudah mulai tersebar di seluruh area sesuai perintah.

"Ayah." Panggilnya, setelah pintu yang dia buka menampakkan seorang yang sedang duduk di kursi paling megah, singgasana si pemilik tempat ini tentu saja, menghembuskan nikotin yang telah dia hirup dengan tenang, menatap keluar jendela yang sudah pasti menyadari adanya ancaman dari seberang sana.

Salah satu sudut bibirnya menyunging setelah mendengar suara seseorang yang datang, si tamu tak diundang. Sang ayah memiliki kesempatan bertemu dengan putranya kembali. Wajahnya berubah, senyum itu redup tiba-tiba, "kamu sakit?" Tubuhnya spontan ingin berlari memeluk tapi pikirannya mengirimkan sinyal peringatan, sudut matanya melirik keluar jendela. Ada orang yang bersiap dengan senjata jarak jauh di sana.

"Mereka di sana!" Adam memperingati, agar putranya tidak melangkah masuk, agar tidak terlihat dari luar jendela. "Bicara dari situ, ya?" Netranya melirik ke bawah, kakinya telanjang sampai terlihat memerah.

Dia ikut melirik keluar jendela yang sengaja separuhnya tidak tertutup tirai, dia paham situasinya. Giwang mengangguk, "Ayah nggak membalas pesan yang Giwang kirimkan, Giwang khawatir."

Lagi lagi Adam hanya bisa tersenyum, "maaf--"

"--jelaskan nanti saja ayah, ayo keluar dari sini. Theo pasti sudah menunggu ayah pulang--" Kini tubuhnya limbung dan membuatnya memilih bersandar pada tembok di sana.

"Theo?" Adam menatap putranya serius sekarang, "Ayah minta maaf soal itu, bukan maksud ayah buat kamu kecewa dan Theo seperti yang pernah ayah bilang, anak itu hanya ikut ayah. Ayah harus mengurus surat surat adopsi agar Theo bisa keluar dari Haera, jadi anak itu--"

"--anak itu hanya ingin hidup seperti anak anak lain. Ayah, Giwang paham." Senyum paling tulus yang pernah Adam lihat dari putra tersayangnya ini membuat hati yang tadinya terselimuti perasaan gelisah perlahan menghilang, keberanian kembali mengisi rongganya.

Adam menggeleng, "Ayah disini untuk membuktikan kalau kamu satu satunya tempat dimana ayah akan selalu kembali, sejauh apapun ayah pergi, Giwang. Theo bukan siapa siapa."

"Giwang nggak apa apa ayah, Giwang paham."
"Kalau harus berbagi, Giwang akan lakukan. Lagipula Theo juga sering menemani Giwang di sekolah. Dia baik."

Sampai habis sinar matahari, sampai kering lautan, dan bahkan sampai berhenti waktu di dunia ini, Giwang akan selalu mengalah, bukan keinginannya tapi hal ini tidak bisa dihindari juga, buka kebiasaan hanya saja Giwang memang anak yang senang berbaik hati dengan semua orang.

Adam, yang mulanya ikut tersenyum lega mendengar pernyataan Giwang yang mampu mengerti posisinya, malah perlahan menumbuhkan sakit yang luar biasa menusuk masuk menembus jantungnya, siapa yang mengajarkan putranya untuk memiliki hati selembut ini? Dia, Adam adalah salah satu dari banyak orang yang basah dengan dosa. Siapa sangka semesta memberkati dengan anak lelaki manis ini.

"Marah sama ayah! Pukul ayah kalau Giwang mau, benci ayah sampai kapanpun, jangan selalu mencari celah kebaikan seseorang, meskipun itu ayah. Hidupmu akan berat, hidupmu akan sulit"

"Ayah... Giwang punya bunda yang akan selalu bantu Giwang saat kesulitan, sekarang di rumah ada Ayah Robi yang mau merawat kalau Giwang kesakitan, Giwang punya kakak lelaki yang selalu menemani, juga satu kakak perempuan yang sering menanyakan kabar. Ayah, Giwang punya semuanya tapi Theo tidak memiliki siapapun dan hanya ada Ayah saja yang dia harapkan, sekarang Giwang menerima semuanya, ini bukan apa apa. Ayo pulang ayah.."

THE SALVATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang