42|Self Esteem

172 39 17
                                    

Dia redup karena cahayanya kalah dengan kegelapan juga kesendirian, mencari jalan keluar namun tidak kunjung dia dapatkan, mencari kawanananya namun ternyata penuh pengkhianatan dan dia yang tertinggal.

---

//Harsh Words//

---

"ENGGAK BISA AYAH! DEVAN NGGAK TAHU SIAPA, NGGAK KEKEJAR JUGA" Suaranya keras walaupun berbicara lewat ponsel. Bahu dan pipinya berhimpitan untuk menahan benda gepeng itu agar tidak jatuh dan tetap bisa mendengar suara ayahnya. Aldevan sibuk merogoh kantong kantong pakaian demi menemukan kunci motor miliknya.

"IYA, MENDING AYAH PULANG DEH!!!" Frustasi sudah, kalau hal semacam ini hanya Aldevan sendiri yang mengurus mana bisa?

[Ayah masih ada pekerjaan, nggak bisa ditinggal gitu aja]

"Nanti kalo Giwang kenapa kenapa gimana? Kalo orang itu ternyata orang jahat gimana? Ayah jangan egois gitu lah.. Dulu katanya mau menikah sama bunda Giwang juga karena kasihan sama Giwang yang selalu sendiri, kata ayah biar bisa temenin Giwang, tapi ayah malah-" Aldevan sampai tak kuasa melanjutkan kalimatnya.

Jauh hari sebelum hari taruhan Giwang dengan Aldevan di gor kota waktu itu, Robi dan Amina sudah sempat bertemu dan membicarakan soal kelanjutan hubungan mereka. Sebenarnya kedua orang ini sudah mengenal sejak lama sekali, namun 'insiden' Amina itu membuatnya mengambil keputusan untuk bersama Adam.

Tipis tipis Robi sudah memberikan kode bahwa putranya akan memiliki ibu baru. Walaupun begitu Aldevan tidak mengindahkan kata kata Robi, sampai saat mereka bertemu -tanpa sengaja- untuk makan malam. Apa yang dikatakan Robi sebelumnya kembali berputar pada ingatannya, itulah kenapa Aldevan begitu mudahnya menerima Giwang.

Untuk menjalin hubungan pertemanan sekaligus ikatan persaudaraan.

Anak lelaki itu, kalau dimata Aldevan adalah seorang petarung hebat namun tertutupi oleh buku buku yang selalu dipegang olehnya sampai anak itu lupa jika dirinya sendiri memang memiliki sesuatu yang besar didalam sana.

Namun setelah mengenal Giwang lebih dalam, Aldevan memandang anak itu sebagai sesuatu yang berbeda, Giwang seperti kunang kunang yang redup cahayanya, yang tersesat di dalam hutan gelap dan besar. Dia redup karena cahayanya kalah dengan kegelapan juga kesendirian, mencari jalan keluar namun tidak kunjung dia dapatkan, mencari kawanananya namun ternyata penuh pengkhianatan dan dia yang tertinggal.

Satu yang menjadi kepercayaannya, satu yang memiliki nasib yang sama malah kalah dan pergi lebih dulu meninggalkannya.

"Lo ngapain di sini?"

"Harusnya gue yang tanya gitu.." Giwang berjalan dengan menumpu tubuhnya pada dinding kokoh sebelah kirinya.

Theo diam, dia hanya menatap Giwang yang terlihat lemas menanggapi situasi ini.

"Apa maksudnya ayah? Siapa yang lo panggil ayah?" Ucap Giwang sembari mendudukkan diri pada kursi meja makan di depan Theo.

Pandangan malas itu bisa Theo rasakan, penuh kemarahan. Giwang memerlukan sesuatu untuk dipukul agar bisa melampiaskan apa yang dia rasakan, Theo sepertinya bukan ide yang buruk.

Walaupun sakit semua tubuhnya, kini tidak terasa begitu karena marah telah memenangkan segalanya. "SIAPA YANG LO PANGGIL AYAH?" suaranya meninggi.

Giwang menunjukkan kemarahan.

Theo tersenyum puas melihat Giwang yang sudah kesulitan bernapas, "Ayah Adam, ayah gue! Orang tua gue"

"Punya gue!"
"Lo nggak ada hak, Yo!"
"Lo bukan siapa siapa!" Keyakinan atas loyalitas Adam masih dia percaya.

THE SALVATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang