08|Dirundung

325 55 20
                                    


Kemarin nggak update, jadi diganti hari ini yaa
❤️SELAMAT MEMBACA SEYENG SEYENG AKU❤️

---

Kalau dilihat lagi, lelaki kelas dua Sekolah Menengah Atas yang memiliki segudang prestasi dengan masalah keluarga yang tidak banyak orang ketahui ini memiliki postur tubuh yang lumayan bungkuk. Theo selalu memperhatikan gerak Giwang, mulai dari caranya duduk saat belajar, jaraknya membaca buku, posisi kakinya yang bisa saja menyundul meja karena terlalu jenjang, caranya membawa ransel yang terkadang hanya menyangkut sebelah supaya memudahkannya meraih buku, dan banyak kebiasaan lainnya yang menurut Theo adalah hal terunik yang pernah dia lihat.

"Kenapa Yo?" Tanya Giwang yang merasa tidak nyaman dipandang oleh Theo sejak beberapa saat lalu. Tanpa memalingkan wajah, dan tetap menatap buku bukunya.

"Em, nggak. Gue pengen minjem buku lo, kalo udah selesai baca, yang Demon Slayer" Theo gugup, asal saja dia menjawab.

Giwang melirik kemudian mengangguk. Orang seperti itu ada juga ya? Tidak punya malu, sudah berbuat salah masih saja merepotkan orang lain.

"Sekalian Jujutsu Kaisen boleh lah ya? Lo ada semua kan, Wang?"

Giwang mengingat kejadian beberapa waktu lalu, dimana saja buku buku komiknya ini bermuara. Kemarin tidak sempat dia membaca banyak karena sibuk menyelesaikan masalah yang melibatkan dirinya. Yang bisa dia ingat hanyalah Amina menyita barang itu, nilainya yang turun dan tidak kunjung mengalami peningkatan membuatnya tidak mendapatkan kembali barang miliknya. "Manga Jujutsu, lo beli aja sendiri"

"Buat apa beli? Lo kan punya, sekalian aja lah Wang" Theo membujuk.

Giwang terlalu malas jika harus menjelaskan buku buku bacaannya disita bunda karena masalah nilai, rasanya setelah apa yang Theo lakukan padanya, dia tidak pantas selalu mendengar cerita Giwang.

"Beli aja anjing, buku komik kayak gitu murah"

Theo memiringkan kepalanya, berfikir sejenak. Salahkan dia meminjam barang milik Giwang? Bukankah hal itu sudah biasa dia lakukan? Nada bicara Giwang seperti merendahkannya. Rasanya kalimat tersebut membuat Theo begitu jatuh harga dirinya. Ya, kalimat umpatan diantara para lelaki mungkin sudah biasa, namun mereka tahu kapan hal itu menjadi candaan kapan bisa menjadi beban pikiran.

Giwang menghela napas pelan, memejamkan mata dan sejenak merenungkan apa yang dia katakan. "Sorry..." Ditatapnya Theo, "Nanti gue cariin"

"Santai Wang, nanti gue bisa beli sendiri" Theo menepuk pundak Giwang dan tersenyum-terpaksa-.

Nizam mengamati dari belakang, seulas senyum puas terpahat diwajahnya. Bangga dengan cara Giwang menolak Theo. Wajar saja, Nizam tahu semua dan dia bukan orang yang sabar dalam menghadapi masalah. Giwang juga bukan orang yang suka terlibat masalah, tapi Giwang bukan orang yang tahan menahan amarah. Dia hanya terpaksa menahan segalanya karena rasa takutnya lebih besar dari pada emosi lainnya. Saat Giwang sudah marah, nantinya akan sulit menghentikan diri.

---

"Wih siapa nih? Anak bunda, anak bunda" Yaksa dan komplotannya mengejek Giwang yang sendirian berjalan menyusuri koridor membawa buku teman sekelasnya dari ruang guru.

Giwang diam tidak menanggapi, pura pura tidak mendengar. Punggungnya basah, disiram air dari botol minum bekas Yaksa. Beberapa buku yang dia pegang juga ikut basah.

"Jangan gitu lah anjing" Umpat Giwang.

"Oh, berani? Mau ngelawan?"
"Gimana ya? Seandainya saudara tercinta lo itu tahu kalo.." Ucapannya berhenti setelah sadar Giwang menatapnya dengan kesal, "Wops, bercanda Wang. Lo kan nurut sama gue"

THE SALVATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang