Chapter 10
Terpaksa Menerima
* * *
Fajar menyingsing dan bertahta tepat di sudut empat puluh lima derajat, lapangan tandus dengan sepasang kaki yang tidak terhitung berdiri di atasnya, dengan mata mengarah pada satu titik yang sama. Seorang pria paruh baya itu berdiri di depan podium dan berbicara panjang lebar menyampaikan narasinya kepada jajaran para murid.
Berbeda dengan Angel yang tidak perlu susah-payah berjemur di bawah terik mentari. Namun kondisi ruang UKS tidak setenang yang diduga. Gadis itu mengacak-acak lemari obat dan mendapatkan medis yang diinginkan.
“Gue aja yang kasih obatnya, Gel. Zyan susah banget diperiksa kalau bukan sama lo.” Gadis itu terkesiap saat merasakan obat di tangannya raib bersamaan dengan seorang laki-laki berada di sampingnya menggenggam papan obat tersebut.
Bendahara PMR itu menghela napas. “Dia sudah di sini?” tanyanya dengan lemas, kakinya tetap ikut melangkah ke bangsal yang terisi dengan seorang siswi berpucat pasi. Dia membiarkan rekannya mengambil alih untuk menjaganya.
Biru melirik arlojinya setelah memberikan obat ke tangan siswi yang diobati sekarang, “Sebentar lagi. Padahal, kakinya sudah pincang sebelah, masih saja ngotot datang ke sini.”
“Dia pincang?” ulang Angel yang menangkap sesuatu janggal.
“Dengarnya dia kecelakaan Jumat itu, saat mau ke sekolah.”
Gadis itu mengangguk paham, dia menyadari satu hal. Selama dia sekolah dari Jumat itu sampai sekarang, memang dia tidak melihat Zyan berkeliaran di sekitarnya.
Benar saja, sedetik itu dia mendengar suara pintu berderit bersamaan dengan tiga orang melewati daun pintu. “Jatuh di toilet,” pekik pemuda yang memapah Zyan dan membaringkannya di bangsal kosong sebelah meja kerja.
Tempat terakhir yang bisa digunakan.
Angel menghembuskan napasnya lelah sebelum berjalan cepat ke sana sedangkan Biru sudah tertawa kecil dengan gelas air di tangannya.“Siapa yang jatuh ke toilet?” tanya gadis tersebut yang mengantongi tangannya ke dalam jas panjang putih. Tidak ada waktu untuk berbasa-basi.
“Zyan, Kak. Felix takut lukanya kembali terbuka, gipsnya memang tidak rusak, hanya kotor karena lantai kamar mandi yang becek. Lalu, tulang ekor Kak Zyan nggak kenapa-napa, kan?”
Gadis itu mengangguk tanpa menyentuh seinchi kulit langsat pemuda tersebut, “Makasih, ya, Fel. Dia baik-baik saja, kok. Nggak ada masalah. Kau mau gantian sama Kakak ngejagain UKS? Pasti capek banget jaga di lapangan.”
“Nggak, Kak. Kalau gitu Felix balik, ya. Sepuluh menit lagi sudah siap upacaranya.”
Dengan begitu anggota baru PMR—Felix Bennet Biantara—segera keluar dari ruangan sesak akan manusia itu, meninggalkan Angel sendirian menghadapi kedua pemuda yang berbeda perasaan.
Zyan menggeleng keras, “Nggak ada masalah. Gue memang cuma perlu tempat istirahat doang. Kalian yang malah pengen membolos. Aduh!”
Daffin—pelaku yang telah menjitak dahi pemuda tersebut yang hanya diberikan perban luka kecil di pelipisnya—mendengus kesal, “Nggak perlu dijagain, deh, Gel. Kayaknya dia memang baik-baik saja. Lo ada hansaplast, nggak?”
Siapa juga yang mau ngejagain? Batin gadis tersebut mendumel. “Mau ngapain?” tanyanya jutek, meskipun dia tidak nyaman berada di sekitar mereka berdua, dia juga memiliki tanggung jawab untuk mengobati seluruh yang luka di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angel Lost Her Smile ✔
Teen FictionPepatah mengatakan seseorang yang paling ceria, ternyata dia menyembunyikan rasa paling sakit diam-diam. Angel Joanne Anandra, si gadis yang bermimpi menjadi neurologist memilih ikut dalam organisasi PMR, berkomitmen untuk mengemban tugas sampai ha...