🌫 Kejutan Untuk Malaikat

7 0 0
                                    

Chapter 20
Kejutan Untuk Malaikat

* * *

"Joe! Woi! Buka pagarnya!"

Arvin selaku orang yang dengan kurang ajarnya seakan berniat menggebrek rumah minimalis berlantai dua dengan taman di depan itu tersenyum puas ketika melihat raut tidak bersahabat adik sepupunya setelah pintu rumah terbuka. "Buka pagarnya, Joe! Ini titipan lo mau gue buang emangnya?" tanya pria muda itu dengan iseng mengangkat plastik.

"Ish! Bentar! Sandal gue hilang sebelah, lo umpetin?"

Jovanka mengerang kesal ketika sebelah sandal jepitnya hilang tanpa jejak, tidak mungkin membiarkan sepupunya menunggu apalagi melempar makan malamnya dari luar pagar, dia melompat dengan satu kaki terangkat ke udara. "Letakkin di dalam, gue nyeker sebelah soalnya," ujarnya yang menyangga pada sisi pagar. Lalu, wajahnya membingkai senyum bahagia.

"Loh? Adek juga ikutan?" sambungnya lagi. Namun, matanya menangkap aura tidak mengenakkan dari Angel yang sedaritadi bersembunyi di belakang punggung sang Kakak.

"Tidak ada sopannya sama orang yang lebih tua," gerutu Arvin terdengar oleh Jovanka yang hanya mendesis kesal. Namun, dia juga menuruti perkataan gadis koas itu.

"Ayo, Dek. Masuk, sudah lama, kan, nggak ke rumah Kakak?" tanya Jovanka yang menggandeng tangan Angel, melompat untuk sampai ke teras rumah yang dilapisi keramik.

Angel mengangguk sambil mengawasi tingkah kakak sepupunya supaya tidak terjatuh konyol. Mungkin sudah memasuki dua bulan tidak ke rumah yang satu komplek dengan rumahnya. Namun, rumah Jovanka berada lebih dalam dari pagar komplek.

Jovanka melepas sandalnya dan berjalan masuk ke dalam, "Eh! Vin, bawain piring, makanannya juga ke ruang tamu. Sudah makan belum, Dek?" Angel menjawab singkat.

"Sudah, Kak. Tadi makan sate."

Berbeda dengan Arvin yang melongos dari dapur membawa permintaan Jovanka. Usia mereka hanya terpaut setahun, lebih tepatnya hanya berselang empat bulan di tahun yang berbeda, membuat Arvin tidak suka mendengar dokter koas ini memanggilnya dengan embel-embel 'abang' atau 'Kakak' di luar pengawasan orang tua.

"Nih. Angie, Kakak balik dulu ke rumah, ya. Ada rapat online dengan klien luar negri. Nanti kalau mau pulang, minta Joe antarin." Arvin mengusak rambut adiknya dari atas. Lalu, keluar sendiri dari rumah tanpa Jovanka mengantar.

Selepas kepergian anak sulung Thomas, Jovanka membuka bungkusan makan malamnya, tidak spesial. Hanya sekotak bento, roti cane, dan dessert box.

"Kalau bukan karena ada seminar di Jakarta, Kakak mungkin sedang berjaga di IGD sekarang sampai subuh," katanya membuka pembicaraan. Angel membantu memindahkan roti cane ke piring. "Dokter konsulen yang ngajakin Kakak ikut seminar, katanya lumayan tambah ilmu."

"Besok, Kak?" tanya Angel membuka suara.

Jovanka membenarkan pertanyaan adik sepupunya, "Pagi sampai siang. Sorenya Kakak balik ke rumah sakit, ganti jaga dengan lainnya."

"Jadi dokter ... susah banget, ya, Kak?"

Yang lebih tua menyuapi potongan roti cane ke bibir yang lebih muda, melihat Angel yang menolak, dia berbisik, "Makan saja, enak, kok. Lain kali minta Kakakmu beliin lagi."

"Kalau dibilang susah? Ya, susah. Belajar dasarnya selama empat tahun dan hanya dapat titel S.Ked tanpa izin praktik, lanjut koas dan tes akhirnya. Saat koas juga ada tugas buat paper atau lainnya. Rasanya, Kakak mau menyerah saja."

"Ya, sayang, dong, Kak, perjuangannya?" balas Angel yang bergedik ketika mmbayangkan Jovanka sungguh menyerah menjadi dokter spesialis.

"Bukan hanya itu, Kakak memang belum sampai stase bedah, masuk ke stase pediatri aja Kakak jadi kebiasaan nyimpan bon-bon di kantung baju, celana, dan snelli. Tapi, lihat pasien anak-anak sudah bisa pulang ke rumah dan berjanji nggak akan nginap di rumah sakit lagi, sudah lebih dari cukup bikin Kakak kembali semangat sekarang ini. Selain itu ...." Jovanka menjelaskan dengan detil, dia melihat sekitar interior rumahnya yang kosong perabot.

Angel Lost Her Smile ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang