🌫 Sebuah Fakta Mustahil

6 0 0
                                    

Chapter 28
Sebuah Fakta Mustahil

* * *

Rumah yang terlihat minimalis dengan sentuhan klasik Eropa itu menjadi tempat berpulangnya Daffin setelah dari rumah sakit dengan kakaknya. Rumah yang ditempati sejak dia lahir di dunia itu memiliki kawasan perkarangan di depan dengan hiasan patung.

"Bang, lo bukan lagi bertengkar dengan Kak Jovan, kan? Gue bogem juga lo," kata Daffin yang membiarkan pintu mobil Tesla putih itu terbuka dan melihat ke pengemudi dengan tatapan menyelidik.

Agak mencurigakan tingkah kakaknya satu ini.

"Nggak, tuh."

Nah, kan! Ini berarti bahaya, Daffin panik dalam hati. Saudaranya ini tidak pernah bicara singkat dalam perasaan dan suasana seperti apapun kecuali sedang marahan dengan pacarnya atau ada masalah dengan si dokter koas cantik itu.

"Serius nggak?" tanyanya lagi yang buru-buru turun dari kuda besi yang meraup gocek yang cukup besar ketika melihat si pengemudi turun tanpa menjawab pertanyaannya.

"Ke PC Room, kita main VCR," ajak Daffa yang langsung masuk ke dalam rumah dengan pintu yang terbuka lebar karena pelayan telah membukanya.

Bahu si bungsu keluarga Danurdara itu merosot lemas.

Fix, ini mah. Si kakak tengah berantem dengan pacarnya. Yang kena imbas selalu Daffin, Daffin, dan Daffin. Diajak main VCR itu memang seru, apalagi kalau punya pribadi. Namun, kalau si Abang mengajaknya dengan perasaan mendung, permainannya tidak jauh-jauh dari thriller dan horor. Dan Daffin paling membenci jenis game seperti itu.

"Bukan seperti yang lo pikirin, gue sama dia baik-baik saja," kata Daffa yang masuk ke dalam lift dan diikuti oleh siswa SMA itu dari belakang.

"Nggak percaya," sahutnya lagi.

"Masalah pasien, kok."

Laki-laki di usia delapan belasnya itu berdecih remeh. Sebab kalau masalahnya terletak di pasien, kakak laki-lakinya itu tidak akan pulang secepat sekarang. Malahan tidak akan pulang ke rumah sampai dia mendapatkan solusinya dengan mendekam di ruang kerja di rumah sakit atau ruang istirahat di sana. Kalau pulang dengan wajah yang terlihat tertekan batin karena pasien, itu Jovanka yang meminta psikiater ini untuk ke rumah.

"Kak Jovan buat kesalahan malu di rumah sakit?" tebak Daffin yang tidak mendapatkan reaksi apapun selain pintu lift terbuka dan yang lebih tua berjalan dengan tas kerjanya di tangan. Lalu, masuk ke kamarnya sendiri.

"Oh! Apa Kak Jovan lupa sama hari jadi kalian lagi?" tebaknya sambil ikut masuk ke dalam kamar pribadi yang mayoritas gelap, bahkan tirai tebal berwarna hitam dengan dinding berwarna sama. Hanya lampu pijar yang sengaja memantulkan warna kuning memberikan warna di sana.

"Nggak. Ini tuh masih Sabtu, dia, kan ada pertemuan dengan konsulennya," jawab pria yang sudah hampir berada di usia 30annya.

Daffin masih belum mau untuk menyerah. Namun, saat melihat kakak laki-lakinya itu langsung masuk ke dalam kamar mandi yang ada di sana sehingga dia memilih untuk memasuki ruang kerja yang diberi sebuah sekat tanpa pintu melainkan sebuah tirai yang sama gelapnya dengan lainnya. Kalau yang merasa asing pastilah mengira ini adalah walk-in-closet dan menurut Daffin sendiri daripada dibilang itu ada ruang kerja. Lebih mirip perpustakaan kecil yang merangkap sebagai tempat kerja dengan tambahan kursi pijat elektrik di ujung.

Salah satu tempat yang suka menjadi taman bermainnya karena dia suka mengendap-endap masuk ke dalam untuk melihat koleksi buku tentang psikologi milik si kakak.

"Oh?" sentaknya ketika merasa kalau dia menyenggol sesuatu.

Dia memungut kembali lembar dokumen yang tergeletak di atas meja dan berhenti ketika melihat sebuah nama yang membuatnya tertarik untuk menariknya keluar sedangkan lainnya ditempatkan kembali di tempatnya.

Angel Lost Her Smile ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang