Chapter 21
Seandainya Bisa Dikatakan* * *
Maret, Musim Panas Jakarta
IndonesiaArvin mendelik, wajahnya mirip dengan wajah julid ketika melihat adik perempuannya menempel di belakang punggung adik laki-lakinya. Aswin sudah mengganti pakaiannya dengan yang lebih bersih dan rapi. Walaupun, hanya sebuah kaus hitam polos dengan celana jeans. Berbeda dengan Angel yang sudah siap dengan seragam sekolahnya turun dari punggung sang Kakak dan duduk di kursi kosong sebelah Thomas yang menggelengkan kepalanya melihat kelakuan kedua anaknya.
"Oh, gitu. Tang-mentang Aswin sudah balik, Kakak dilupain. Cukup tahu aja, sih," sindir Arvin yang melirik kearah Angel yang menjulurkan lidahnya mengejek tepat di depannya.
Lalu, si bungsu menarik tangan Aswin duduk di sampingnya. "Kak, makan, ya? Lalu, Kakak hari ini anterin ke sekolah," ucap Angel yang mengambil roti panggang dan mengolesnya dengan mentega dengan taburan meses di atasnya.
"Oh, gitu. Bukan Kakak lagi yang anterin ke sekolah. Cukup tahu, sih, Angie."
Angel memberikan hasil roti di tangannya kepada Aswin tanpa mempedulikan ucapan Arvin. "Punya Kak Win. Pokoknya hari ini, Adek mau ngobrol panjang sama Kak Aswin," tutur Angel yang tersenyum lucu ketika si kakak hanya menerima roti.
"Oh, gitu. Awas saja kalau Aswin balik ke Belanda, kamunya cari Kakak lagi. Nggak Kakak ladenin."
Mila tersenyum maklum dengan sebelah tangannya memegang segelas susu putih dari arah dapur, "Dek, susunya."
"Kak," sela Thomas yang mengarah ke Arvin yang menyengir dengan kedua jari telunjuk dan tengahnya. Memang sudah menjadi kebiasaan di keluarga kalau Arvin dipanggil 'Kakak' dan Aswin dipanggil 'Abang', tidak berlaku untuk Angel yang memanggil keduanya dengan 'Kakak'.
"Peace, Pa. Lucu saja gitu lihat Angie."
"Thanks, Ma." Angel membalas singkat, terlalu malas juga membalas perkataan Arvin. "Kak, tahu, nggak? Dekat sekolah ada cafe cantik banget. Orang-orangnya juga pada baik banget, apalagi yang pegang kasir dan chef di sana suka kasih makanan yang Adek nggak pesan," ocehnya yang sambil mengambil srikaya sebagai isi rotinya. Sarapan dengan roti panggang juga tidak masalah.
"Iya. Nanti siang ke sana," balas Aswin yang mengambil alih potongan roti dan pisau oles dari tangan Angel dan melanjutkan olesan. Lalu, meletakkannya di piring bersih adiknya. Tangannya mengambil sepotong roti panggang dan mengisinya dengan isian yang sama.
Tentu saja untuk Angel Joanne Anandra.
"Kak Aswin bawa mobilnya hari ini, mau ngajak keliling Jakarta."
"Heum," deham Aswin yang meletakkan hasil karyanya.
"Cukup tidur, Bang? Masih jetlag nggak? Besok saja, deh, jalan-jalan sama Adeknya. Abang habis naik pesawat tengah malam," kata Mila yang duduk di samping Arvin.
"Cukup, Ma. Nggak jetlag kok."
"Okay. Nanti pulangnya, istirahat bentar," saran wanita tersebut yang diangguki oleh Aswin yang membalas, "Pa, Ma, Kak, duluan."
Karena, Angel sudah menarik tangannya untuk segera keluar dengan bibirnya yang terus merengek, "Pa, Ma! Adek duluan ke sekolah dulu."
Namun, ketika anak gadis itu telah membuka pagar rumah membeku di sana, membuat Aswin kebingungan. Dia tersenyum tipis ketika melihat sosok laki-laki memakai seragam sekolah berdiri di seberang rumah mereka.
"Eh, Bang. Baru pulang dari Belanda, ya?" tanya Johan yang basa-basi. Angel langsung masuk ke dalam mobil tanpa mengatakan apapun.
"Iya. Berangkat bareng?" tawar Aswin yang dibalas dengan gurat keki serta maniknya yang melirik ke arah Angel.
"Nggak apa-apa, kan searah."
Karena, Johan segan dengan Aswin, mau tidak mau dia duduk di kursi belakang tepat di belakang Angel. Yang paling tua diantara mereka bukannya tidak peka. Dia lebih peka dari siapapun dalam diamnya dan tahu kalau mereka berdua sedang tidak baik-baik saja.
Ntah apa yang terjadi saat dia masih di Amsterdam. Namun, dia bisa mencairkan suasana dengan sesekali mengajak Johan berbicara.
"Makasih, ya, Bang."
"Heum," balas Aswin yang menghentikan mobilnya di samping gerang sekolah. Lalu, melirik ke samping. Adik perempuannya diam selama di perjalanan. Telapak tangannya mendarat pelan di pucuk kepala gadis tersebut. "Masuk. Bentar lagi bel, Mei," ucapnya yang tidak mengandung emosi sama sekali.
Angel menurut, membuka pintu mobilnya setelah Johan langsung pamit masuk ke dalam area sekolah tanpa menunggunya. Itu bagus dan memang harus seperti itu.
"Iya. Kak, jangan lupa nanti siang. Awas kalau telat."
"Janji."
* * *
Motor Zyan berjejer rapi, setelah pemuda itu mencabut kunci kendaraannya dan mengantongi, pandangannya terpaku ke luar area sekolah yang samar-samar terlihat. Siluet Johan keluar dari mobil dan langsung pergi begitu saja.
Oh, dia diantar kakak laki-lakinya berarti. Lucky him, batin Zyan yang tidak melepas pandangan dari mobil tersebut. Maniknya bergetar terkejut ketika Angel juga keluar dari sana.
"Yan, lo mendingan mundur, deh kata gue. Mereka pacaran, kan, ya? Lihat tuh, jauh-jauhan begitu, masih serasi," ucap Daffin yang merangkul bahunya sembari mengikuti Angel yang memasuki area sekolah. Dia juga membawa motor hari ini. Kecuali Elvan yang membawa mobil, ditumpangi bersama William.
"Diem, sat," balas Zyan ketus. Lalu, berbalik badan dan berjalan ke kelasnya.
"Ya elah, Yan. Lo nggak mungkin suka sama si bendahara PMR itu, kan?" tanya Daffin yang mengejar sahabatnya itu. Maniknya mengerling usil ke arah wakil ketua kelas satu ini.
"Kenapa nggak mungkin?" balas Zyan yang sukses membuat pemuda yang lebih pendek darinya itu melunturkan raut jahilnya.
"Siapapun bisa jatuh cinta tanpa disadari, kan?" sambungnya lagi.
"Wait! Zyan suka siapa, woi! Nggak bilang-bilang, mana cewe sial yang lo sukai," potong William dari belakang, tas selempangnya dilempar ke Elvan. Dia mencekal leher sahabatnya ini main-main. "Jadi, wakil ketua kelas kita ini suka sama siapa?" tanyanya lagi.
"Nggak ada, minggir!"
Nggak heran kalau interaksi keempatnya membuat masyarakat sekolah mencuri perhatian ke mereka, pahatan postur tubuh mereka termasuk sempurna. Seperti Elvan yang tinggi menjulang dengan wajahnya yang lembut, jelas menjadi idaman menantu atau Daffin yang meskipun tergolong pendek diantara mereka, dia rajin ke gym dan memiliki pendirian yang bagus.
Tidak heran keempatnya sering dijadikan pujaan hati kaum hawa.
Zyan meletakkan tasnya di atas meja dan duduk di bangkunya yang bersebelahan dengan Daffin. Rasanya tidak aneh lagi melihat Daffin disekitarnya setelah dilalui dua belas tahun.
"Lo serius suka sama dia?" tanya Daffin berbisik dengan posisi agak merendah.
"Bukan urusan lo."
"Lo nggak tahu, kan, gosip anak-anak tentang dia?"
Zyan berhenti memainkan ponselnya. Namun, memilih pura-pura mengabaikan sahabat pendeknya ini dengan tetap mengotak-atik ponselnya.
"Urusin saja urusan lo. Kalau mau jadi psikolog itu memang harus se-kepo ini dulu, ya?"
Telak. Daffin meninju kuat lengan atas Zyan dan bersiap di bangkunya.
"Tahu gini, kemarin gue biarin lo di samping jalan."
Zyan tidak peduli dengan perkataan itu, gosip tentang Angel, ya ... dia tidak tuli, kok. Namun, dia hanya tidak percaya.
* * *
To Be Continue
* * *
Yuhuu, bentar satu lagi.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Angel Lost Her Smile ✔
Teen FictionPepatah mengatakan seseorang yang paling ceria, ternyata dia menyembunyikan rasa paling sakit diam-diam. Angel Joanne Anandra, si gadis yang bermimpi menjadi neurologist memilih ikut dalam organisasi PMR, berkomitmen untuk mengemban tugas sampai ha...