Bagian 6 | Pain

325 33 0
                                    

Langkah Zela perlahan memasuki rumah dengan perasaan bertanya-tanya setelah melihat keberadaan mobil Rose dihalaman rumah karena tak biasanya Rose ada dirumah ketika jam pulang sekolah begini.

"Assalamualaikum! si cantik pulang!" seru Zela dari depan pintu, namun sontak ia menutup mulut dengan tangannya sendiri begitu menyadari ada seorang pria asing sedang mengobrol dengan Rose di ruang tamu. Bolehkah menghilang dari bumi? ia malu sekali apalagi ketika pria itu menahan tawa melihatnya.

Zela menggaruk kepala meskipun tidak gatal sembari tersenyum canggung. "Hehe maaf ganggu, silahkan dilanjut." pamitnya kemudian berlari ke ruang tengah dimana ada Dean disana.

"Lo kok nggak bilang sih kalo ada tamu? Gue malu, mana tu om-om nahan ketawa lagi." protes Zela melempar tas nya asal lalu duduk disamping Dean yang sibuk dengan game online.

"Salah sendiri masuk rumah teriak-teriak kaya di pesisir. Berisik!" ujar Dean tanpa mau repot-repot melihat Zela.

Zela berdecih tak suka dengan tanggapan Dean yang menyebalkan. Memang kenapa kalau berisik? daripada rumahnya sepi seperti kuburan. "Itu om-om juga siapa sih? pacar mama? kurang ajar banget ngetawain gue." dumel Zela.

"Heh bukan!" tegur Rose kemudian ikut bergabung di sofa seberang setelah mengantar tamu nya pulang. "Itu tadi pak Ariel, pengacara nya Delia."

Zela dan Dean seketika saling pandang menyadari kemana arah pembicaraan ini. Dean meletakkan handphone nya kemudian membenarkan posisi duduk, siap menerima apa yang akan terjadi.

"Orang itu lagi? Ada apa kali ini? Perasaan nggak kelar-kelar masalahnya sama keluarga kita." tanya Zela, sudah hafal kalau ini adalah sirine pertanda masalah akan datang. Kehadiran Delia hanya membawa masalah di keluarga mereka.

"Dengerin dulu mama ngomong, jangan di potong." pinta Rose yang langsung mendapat anggukan dari kedua anaknya. "Masalah Delia sama keluarga kita nggak akan pernah selesai karena Delia punya anak. Dan ini tadi Pak Ariel bilang kalau anaknya Delia minta hak waris dari papa secepatnya."

Tak bisa dipungkiri ekspresi keterkejutan datang dari wajah Zela juga Dean. Dua kalimat dari mulut Rose berhasil membuat rahang Dean mengeras dan tubuh Zela lemah tak berdaya secara bersamaan. "Maksutnya gimana, Ma? Mereka mau tinggal disini juga?" tanya Zela.

Rose menggeleng. "Mama berencana jual rumah ini terus hasilnya kita bagi tiga. Kamu, Dean sama anaknya Delia."

"Terus kita mau tinggal dimana? Rumah ini nggak segede itu buat dibagi tiga, Ma."

"Kalo nggak dijual emang kalian mau tinggal satu atap sama mereka? Nggak mungkin kan, sama aja cari penyakit namanya. Mama berencana jual rumah ini terus kita beli rumah yang lebih kecil, atau kita tinggal di daerah pedesaan yang rumahnya gede dengan harga murah."

"Mama bercanda sama opsi kedua? gimana sekolah aku sama Jela? Kehidupan kita di kota." kali ini Dean yang angkat bicara.

"Berarti yang bisa kita pake ya opsi pertama. Ini emang sulit tapi kita nggak bisa egois buat dapetin semua peninggalan papa sendiri."

Zela menyunggar rambutnya ke belakang penuh emosi. "Delia yang egois, Ma! Anaknya itu anak haram, dia nggak pantes buat minta harta peninggalan papa."

"Jel.." Rose lagi-lagi menggeleng. "Delia punya alasan buat ngelakuin ini. Dia lagi sakit dan sekarang udah nggak bisa kerja. Anaknya butuh warisan dari papa buat nerusin sekolah. Kalau aja Delia masih kerja, mama yakin dia nggak akan ngelakuin ini."

"Stop belain Delia, Ma!" ujar Zela dengan suara sedikit meninggi. "Wanita itu jahat. Udah berapa banyak penderitaan kita karena dia?"

Zela membalas tatapan sengit Rose. Dadanya naik turun tak beraturan akibat otaknya tengah bergemuruh dengan segala kebencian terhadap wanita bernama Delia yang kembali muncul di permukaan. Wanita tak tau malu perenggut kebahagiaan keluarganya yang hingga sekarang tak jelas darimana asal-usul nya.

WHY?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang