Bagian 24 | Pembeli Rumah

271 26 0
                                    

Sejak sore hingga menginjak jam delapan malam Zela masih berkutat dengan kardus dan berbagai barang lama. Ia sedang menyortir mana barang yang masih dipakai dan mana barang yang harus dibuang, agar tidak mengusung barang banyak-banyak saat pindahan.

Sampai saat ini Zela belum tau kemana akan pindah. Masalah itu sepenuhnya ia serahkan pada Rose, yang penting lingkungan rumah baru tak jauh beda dengan lingkungan sekarang. Dan sebisa mungkin ia dan Dean tak harus pindah sekolah karena itu sangat merepotkan.

Ceklek

Pintu kamar Zela dibuka tanpa ketukan oleh Dean, kemudian bocahnya duduk diatas kasur tanpa permisi dengan Zela yang duduk dibawah. Sontak hal itu mengundang decakan. "Lo diajarin sopan santun gak sih?"

"Tanyain diri lo, pernah gak ngajarin gue sopan santun?" balik Dean.

"Bocah kalo pinter masuk kamar orang ketok dulu. Main nyelonong aja, kalo gue lagi ganti baju gimana?" tanya Zela dengan tampang ngegas nya.

Dean mendengus. "Yaudah sih, gue gak napsu juga sama lo."

Demi Tuhan dalam hatinya Zela ingin memakan adiknya hidup-hidup kalau saja babi itu halal.

"Mau lo apa sih? Keluar sana! Kesini nyari gara-gara doang!" sewot Zela.

Tiba-tiba rupa Dean berubah serius. "Lo udah tau belom Mama mau ngajak pindah kemana?"

"Belom. Yang beli rumahnya aja batalin kontrak. Kenapa emang?"

"Gue cuma takut Mama pilih rumah di pinggiran kota. Apa gak tiap hari serasa neraka kita?"

Zela menyandarkan punggung pada bagian kasur dekat kaki Dean. "Gue malah takut kalo pindah dari rumah ini, kenangan kita sama Papa jadi hilang." ujar Zela.

"Kita? Lo doang kali. Gue aja gak tau gimana muka bokap lo. Yang gue tau cuma masalah akibat kelakuannya." kekeh Dean. Ringgo—Papanya memang meninggal ketika dia masih kecil, jadi pantas saja kalau dia tak ingat dengan kenangan mereka.

"Lo gak boleh gitu. Papa tuh sayang sama kita, gimanapun dia berjasa ke hidup lo." nasihat Zela sembari tangannya bergerak mencabuti bulu kaki Dean satu-persatu.

Plak!

Dean mengeplak tangan Zela yang tak tau malu. Dikira tidak sakit apa bulu kaki dicabuti. "Berjasa sih berjasa, tapi tangannya jangan kurang ajar!" omelnya.

Kringg..

Zela menjauhkan diri dari kaki Dean dan mengambil handphone nya. Berkelip nama Haikal disana.

"Halo, gimana?"

"Rumah Gavin."

"Sekarang?"

"Lusa juga gakpapa."

"Otw!"

***

Zela terlentang diatas kasur Gavin yang besarnya kira-kira muat menampung lima orang dewasa. Ia kepikiran tentang kemana harus tinggal setelah rumah itu terjual.

Kalau tetap di kota ini, takutnya Delia dan Shanena kembali membawa masalah lagi pada mereka. Kalau pindah ke kota lain, itu akan lebih merepotkan. Pindah sekolah, adaptasi lagi juga mengenal orang baru lagi. Tapi poin plus nya, Delia dan Shanena tidak akan menemukan mereka.

Memang setiap pilihan ada kurang lebihnya, tinggal kita bisa memaklumi yang mana.

"Woi, diem mulu dikasur kaya korban pencabulan!" tegur Nathan.

Atensi semua orang disana langsung tertuju pada Zela yang hanya melirik sekilas sebagai respon.

"Lo pernah nyabulin anak orang apa gimana? Apal banget." sahut Junio.

WHY?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang