Bagian 23 | Medusa

288 32 0
                                    

"Bangke, telat lagi!" Zela menggerutu. Gerbang sekolah sudah tertutup rapat ketika ia baru saja sampai.

Zela mengintip ke dalam dan terlihat oleh satpam yang berjaga. "Waduh, neng! Telat lagi?"

"Iya, Pak. Tadi ban motor saya bocor. Jadi saya kesini jalan kaki. Bukain ya?"

Pak Teguh mengintip ke dalam sejenak. "Tapi kena hukuman. Itu anak OSIS lagi ngasih hukuman anak-anak yang telat."

"Gapapa deh, Pak."

Akhirnya Pak Teguh setuju membukakan gerbang untuk Zela. Dengan langkah gontai, Zela langsung bergabung bersama jajaran anak-anak yang terlambat.

"Waduh, customer tetap." sarkas Finca disertai muka luar biasa menyebalkannya.

Mendengar kalimat sarkas itu, Gentala langsung mengalihkan atensinya pada Zela. Kemudian ia datang menghampiri.

"Ikut ke ruang OSIS." katanya.

Zela sudah tau apa yang akan terjadi di ruang OSIS nantinya, jadi ia memilih mengabaikan Gentala dan melihat kearah Audrey. "Kasih gue hukuman."

Audrey sempat kebingungan sebelum menyadari ada yang tidak beres antara Zela dan Gentala. Setelah memahami gelagat Zela, barulah ia tersenyum penuh kelicikan.

"Ngepel koridor lantai satu?" tanya Audrey sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Oke." jawab Zela tanpa pikir panjang. Menurutnya itu lebih baik daripada berduaan dengan Gentala di ruang OSIS.

Kepergian Zela sontak mengundang kerutan di dahi setiap orang yang ada disana. Bukan rahasia lagi kalau Zela sering memanfaatkan Gentala untuk menghindari hukuman akibat terlambat, namun kenapa sekarang perempuan itu justru mengambil hukuman dari musuhnya?

Zela meminta ember berisi air dan kain pel pada Pak Bon. Ia menaruh tas nya di salah satu tempat duduk depan kelas, lalu mulai mengepel dari ujung koridor secara asal-asalan. Perempuan itu bahkan tak mau mengotori tangannya untuk memeras kain pel sehingga air nya menggenang dimana-mana.

Duk!

Tongkat pel Zela terantuk sepatu seseorang yang dengan sengaja menghadangnya. Sontak ia memandang sinis orang tersebut. "Minggir!"

"Ada yang mau gue omongin."

"Gue lagi ngepel, kalo lo buta." Zela melanjutkan kegiatannya ke arah lain namun orang itu masih mengikutinya.

"Tolong berhenti nyebarin berita buruk tentang gue—Kak. Kita sodara, gak seharusnya lo jahat ke gue." Shanena diam-diam menyunggingkan senyuman.

Zela menatap Shanena dengan tatapan membunuh karena lancang memanggilnya seperti itu. "Adek gue cuma Dean. Jangan pernah manggil gue dengan sebutan itu pake mulut pelacur lo!"

"Lo gak bisa memungkiri takdir kalo gue emang adik lo. Kita terlahir dari Papa yang sama."

"Bacotan lo gak penting. Mending lo pergi!" peringat Zela.

Namun bukannya pergi, Shanena malah tersenyum sambil geleng-geleng kepala. "Gue gak ngerti, kenapa kita selalu terlibat dengan satu cowo yang sama dan posisi lo selalu dibawah."

Zela meremat gagang kain pel ditangannya kuat-kuat, melampiaskan emosi disana. "Pergi gue bilang!"

"Oh, atau emang seharusnya kakak ngalah sama adek ya?"

"Lo ngerti omongan pergi, gak?"

Shanena bersedekap dada, benar-benar menantang Zela. "Kalo gue gak mau, gimana—Kak?"

BYUR!!

PTAK!!

Zela menyiramkan air keruh bekas pel pada Shanena hingga habis tak bersisa, kemudian membuang embernya ke sembarang arah.

WHY?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang