Zela baru saja keluar dari kamarnya dan berpapasan dengan Dean yang juga baru keluar. Ber-outfitkan santai, malam ini mereka akan bertemu dengan Delia juga anaknya di rumah sakit. Wanita penyakitan itu sedang dalam perawatan intensif sehingga tak memungkinkan untuk bertemu di luar.
"Harusnya kita yang cari rumah. Kalo Mama yang cari, ngaco." celetuk Dean masih tak terima dengan rumah yang ditawarkan tadi pagi.
"Waktu Mama bilang dipinggir pantai, gue pikir pantai yang kaya di Bali gitu, ada tempat clubbing nya. Lah ini yang bener aja, masa kita disuruh maen layangan? Bau matahari yang ada!"
Dean menyenggol pundak Zela dengan lengannya. "Bilang ke Mama sana! Tinggal di kontrakan juga gapapa dah asal di kota."
"Bener. Yang penting kita ada tempat buat maen. Urusan rumah gede atau kecil belakangan."
"Nah, itu lo tau."
Sesampainya mereka di lantai bawah, langsung mendapat tanggapan kebingungan dari Rose. "Kok kalian pake celana pendek, kaosan lagi!"
Zela mengangkat sebelah alisnya kebingungan. "Emang kenapa? Salah?"
"Ya gak salah, tapi gak bener. Kita mau tanda tangan surat perjanjian sama jengukin Delia, harusnya pake baju yang sopan dong."
"Ck!" decak Dean tak suka. "Cuma Delia, bukan presiden. Lagian aku sama Jela gak ada niatan buat jenguk dia."
"Hish! Mama gak mau tau, pokoknya ganti pake baju yang sopan. Nanti dikira Mama gak bisa ngedidik kalian lagi!" Rose mendorong Zela dan Dean agar kembali naik ke atas. "Cepetan ganti!"
Meskipun keberatan keduanya tetap jalan juga. Ucapan sang Mama ada benarnya, bagaimana kalau nanti Rose dicap tidak becus mendidik anak? Oh jangan sampai. Mereka harus berada diatas level anaknya Delia.
Singkatnya, kini mereka sudah berada di loby rumah sakit bersama seorang perempuan muda yang umurnya belum genap tiga puluh tahun. Perempuan itu adalah Adele, anak Tante Lisa yang berprofesi sebagai lawyer. Rose sengaja meminta bantuan Adele agar anak-anak nya mendapatkan hak yang semestinya.
"Bu Rose?" panggil Pak Ariel kemudian menjabat tangan Rose. "Sudah daritadi? Maaf saya kena macet."
"Gapapa, Pak Ariel. Kita juga baru sampai kok."
"Kalau begitu, langsung saja kita ke ruang rawatnya Bu Delia." ujar Pak Ariel.
Rose mengangguk setuju kemudian menggandeng tangan Adele agar berjalan di sisinya. Sejujurnya ia juga gugup. Bertahun-tahun menghindari itu, kini ia harus bertemu kembali dengan wajah perempuan yang merenggut sebagian hidupnya.
Setelah menaiki lift, kini mereka sudah tiba di depan pintu ruang rawat Delia. Entah apa yang membuat atmosfer disekeliling mereka tiba-tiba berubah. Zela yang awalnya biasa saja, kini sedikit deg-degan hingga membuatnya memegangi lengan Dean.
Sepanjang hidup dengan kebencian pada Delia, baru kali ini Zela akan melihat langsung wajah wanita itu. Dan juga, ia akan melihat bagaimana bentuk bibit Papa nya yang ada pada Delia. Saudara yang sama sekali tidak ia inginkan keberadaannya.
"Jangan buat ulah!" peringat Rose untuk yang terakhir kali sebelum mereka masuk kedalam ruang rawat Delia.
"Ck! Iya iya!"
Ceklek
Pak Ariel membuka perlahan ruang rawat Delia kemudian mempersilahkan semuanya untuk masuk. "Silahkan, itu Bu Delia sudah menunggu kalian."
Satu persatu dari mereka masuk. Zela sempat melempar senyum pada Pak Ariel sebelum senyuman itu lenyap dan berganti dengan ekspresi kebingungan penuh tanda tanya, ketika melihat keberadaan Shanena dan orang yang amat dikenalnya. Gentala, laki-laki itu terlihat terkejut melihat keberadaan Zela disana.
"Bu Rose, perkenalkan," Pak Ariel berjalan mendekati Shanena dan merangkul pundak perempuan itu. "Ini Shanena, putri Bu Delia."
Jantung Zela terasa berhenti berdetak beberapa saat. Nafasnya tercekat dan tubuhnya turut membeku mendengar penuturan Pak Ariel. Takdir macam apa ini? Shanena adalah anak Papa nya?
"Dan ini, Gentala. Putra saya."
Belum sempat mengambil nafas, ucapan Pak Ariel kembali menusuk jantung Zela. Kali ini lebih parah, hatinya benar-benar hancur. Lagi dan lagi, Zela merasa dikhianati oleh Gentala. Ia ditipu. Selama ini Gentala tau perihal Delia dan anaknya, bahkan bersekongkol dengan mereka.
Detik berikutnya tatapan Zela bertemu dengan Gentala. Laki-laki itu terlihat ingin membuka mulut untuk menjelaskan sesuatu, tapi Zela segera membuang tatapannya kearah lain. Ia sudah muak dengan Gentala.
Saat ini Zela tak mau terlihat lemah. Ia sudah lelah dengan semua rasa sakit yang diberikan Gentala. Untuk itu, Zela pamit undur diri. Ia melangkah mundur kemudian keluar dari ruang rawat Delia sambil menulikan telinga atas panggilan orang-orang.
"Jela, tunggu!" teriak Gentala sekencang mungkin mengejar langkah Zela.
"Jel, aku—"
"Bacot!" Zela mendorong tubuh Gentala. Matanya memerah dan air matanya tertahan di pelupuk. Zela benar-benar marah. "Aku salah ya selama ini menganggap kamu sebagai orang yang paling bisa aku percaya!"
"Gak gitu. Aku bisa jelasin semuanya, Jel. Kamu harus denger aku dulu!"
"Apa lagi yang harus aku dengerin dari kamu, Gen? Selama ini aku percaya setengah mati sama kamu tapi apa yang aku dapet? Sampah. Kamu berlagak bodoh tapi sebenernya kamu tau semuanya. Kamu peluk aku seakan kamu pahlawan, tapi ternyata diem-diem kamu ada di pihak dia."
"Kita bicarain ini baik-baik ya? Aku gak ada niatan nipu kamu. Jangan disini, ini rumah sakit, Jel."
"Baik-baik kamu bilang? Setelah kamu mengkhianati aku sampe begini, kamu bilang baik-baik? Aku gak baik-baik aja, Gen. Aku sakit hati atas semua perbuatan kamu." Zela tersenyum hambar sambil menyunggar rambutnya ke belakang dengan frustasi. "Aku jadi bertanya-tanya apa motif kamu pacarin aku selama ini."
"Masalah ini gak ada kaitannya sama hubungan kita, Jel. Hubungan kita murni karna aku sayang sama kamu—"
"Kamu gak akan memperlakukan aku begini, kalo emang kamu sayang aku, Gen. Kamu dan Papa kamu gak akan membantu mereka buat menghancurkan keluarga aku. Aku punya salah apa sih sampe kamu bisa sejahat ini sama aku?"
Zela meraih kerah baju Gentala dan mencengkeramnya kuat. Perempuan itu tertunduk lesu dengan air mata mengalir deras. Ia tak kuasa lagi menahan tangis kekecewaannya. "Aku ada salah apa ke kamu? Jawab, Gentala!" jeritnya. Tak peduli kalau kini mereka jadi pusat perhatian.
"Kamu tau gimana bencinya aku sama wanita yang udah merebut Papa aku. Kamu juga tau gimana keluarga aku terluka karena wanita itu dan semua masalahnya terus dateng. Tapi apa? Kamu gak peduli! Dimana sih hati kamu?"
Zela benar-benar merasa dikhianati. Gentala yang selama ini dianggapnya sebagai rumah, tempat teraman untuk mendapat perlindungan ternyata berada di pihak lawan. Nasihat dan pendapat Gentala hanya omong kosong, semuanya demi untuk kebaikan pihak lawan. Kini apa lagi yang harus Zela percaya pada sosok Gentala?
"Sejak kecil aku menderita, Gen. Penghasilan Papa yang harusnya cukup buat aku sama Dean, harus dibagi sama mereka. Setelah Papa meninggal, aset yang harusnya buat biaya sekolahku sama Dean, habis buat berobat karena dia sakit-sakitan. Alhasil Mama harus kerja dan kamu tau apa dampaknya buat aku? Aku kehilangan masa kecil aku, Gen. Aku harus jagain Dean, aku harus tetep dirumah disaat semua temen-temen seusia aku bebas main kesana kemari. Ditambah sekarang, aku harus kehilangan rumah yang punya banyak kenangan sama Papa."
"Apa kamu pernah tanya tentang penderitaan aku karena ulah mereka? Gak pernah kan. Kamu selalu nyuruh aku buat ikhlas sama semuanya. Kamu selalu nyuruh aku buat memaklumi takdir, padahal sebenernya kamu cuma ingin yang terbaik buat mereka!"
"Kamu—" Zela mengangkat telunjuknya ke udara sambil mati-matian menahan tangis. Lidahnya kelu dan tak tau harus berbicara apa lagi. Semua kalimatnya hilang, hanya satu yang terlintas diotaknya. "Brengsek, Gentala. Aku nyesel pernah kenal kamu."
Setelahnya Zela mundur, berjalan jauh dan semakin jauh dari jangkauan Gentala. Kaki Zela terasa lemas namun tetap ia paksakan untuk pergi dari sini. Kini semuanya benar-benar berakhir. Tak ada lagi Gentala di hidupnya, tak ada lagi tempat teraman baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY?
Teen FictionKeyakinan bahwa Gentala mencintai nya adalah sumber kekuatan Zela. Meski harus menghadapi banyak persoalan, itu tak akan membuat Zela melepas Gentala begitu saja. Hingga ada satu titik dimana Zela kehilangan kekuatannya. Yaitu untuk yang pertama kal...