Bagian 25 | Pemeran Terbaik

620 52 15
                                        

Kira-kira hampir seminggu lamanya Zela sama sekali tak bertemu dengan Gentala. Entah karena menghindar atau apa tapi cowok itu benar-benar tak terlihat mata. Bahkan ketika Zela terlambat, hanya Aksa yang ada di lapangan sebagai penanggungjawab. Zela juga tak mau menanyakan tentang hal itu pada Aksa. Ia harus membiasakan diri tanpa kehadiran cowok itu.

Namun ketika Zela sudah mulai terbiasa, tiba-tiba tadi sore Gentala mengirim pesan dan itulah yang membawanya berada disini sekarang. Di sebuah lapangan basket yang tak jauh dari endcity.

Meskipun gelap, dari kejauhan dapat tertangkap oleh indera kalau Gentala sedang bermain basket sendirian. Oleh karena itu tanpa ragu Zela langsung menghampirinya. "Gen."

Gentala menghentikan permainan dan tersenyum melihat kehadiran Zela didekatnya. "Kamu dateng juga."

"Kenapa manggil aku kesini?" tanya Zela dengan nada datar.

Semasa pacaran, Zela tau tempat ini adalah tempat Gentala melarikan diri dari segala masalah. Bagi Gentala bermain basket sendirian apalagi saat malam hari merupakan sebuah ketenangan.

"Ada yang mau aku omongin."

Zela menyandar pada pohon yang lumayan besar didekatnya karena tak menemukan tempat duduk disana. "Kenapa?"

"Beberapa hari kita gak ketemu, kamu gimana? Merasa baik-baik aja tanpa aku?"

"Sedikit kerasa aneh karena gak liat kamu sama sekali, tapi aku baik-baik aja." lirih Zela pada akhirnya.

Mendengar kejujuran Zela membuat Gentala tersenyum kecut. "Berarti emang kita harus pisah ya, Jel?"

Sontak Zela menatapnya menuntut kelanjutan namun Gentala sengaja menghindari tatapan itu. Gentala bisa gila kalau terus bertemu dengan tatapan sendu Zela.

"Selama seminggu ini aku sengaja menghindar buat memastikan gimana perasaan kamu kalo gak ada aku. Aku bahkan janji sama diri sendiri, kalo kamu baik-baik aja berarti tandanya aku harus lepasin kamu. Dan ya, ternyata kamu baik-baik aja tanpa aku."

Gentala menjeda kalimatnya, menghirup udara sebanyak mungkin untuk menormalkan napasnya yang tercekat. Keputusan ini berat untuknya dan ia sudah memikirkan matang-matang sebelum meminta Zela bertemu.

"Rasanya hampir gila karena gak ketemu kamu selama itu, tapi aku sadar itu hukuman juga buat aku. Aku gak mau egois, disini kamu yang paling terluka. Kesalahan aku bukan cuma ke hubungan kita tapi ke diri kamu juga. Hubungan kita bisa diperbaiki setelah aku menjauhi Shanena tapi untuk ke diri kamu, aku gak tau gimana harus memperbaikinya. Selama masih sama aku, kamu akan terus ngerasa sakitnya. Jadi aku pikir, pisah dari aku adalah keputusan terbaik untuk menebus kesalahan ke diri kamu. Sekarang aku lepasin kamu, Jel. Kamu mau putus? Oke aku terima."

Darah Zela berdesir hebat mendengar ucapan terakhir dari mulut Gentala. Berpisah menjadi ketidakrelaan terberat baginya namun bertahan juga menjadi luka menganga untuknya.

"Aku boleh peluk kamu?" tanya Zela dengan suara bergetar.

"Tapi aku keringetan, bau."

Zela tersenyum lalu mengangguk. "Gakpapa." Ia maju beberapa langkah dan masuk kedalam pelukan Gentala. Tangisnya pecah disana. Pelukan tulus yang sudah lama tidak ia rasakan ternyata masih sama hangatnya.

"Baik-baik ya Jel tanpa aku. Jangan nakal lagi. Kita udah gak bisa berduaan di ruang OSIS sekarang." ujar Gentala sembari mengusap punggung Zela yang bergetar hebat. Gentala dapat merasakan bagaimana pilu nya perasaan Zela saat ini.

Masih dengan posisi yang sama, Zela mengeratkan pelukannya. "Makasih ya Gen udah jadi pacar yang baik buat aku. Sabar ngadepin tingkahku, dengerin semua ceritaku dan jadi cinta pertama yang indah buat aku. Terlepas dari semua kesalahan kamu, kamu adalah sandaran ternyaman buat aku. Maaf kalo selama ini aku banyak nyusahin dan ngerepotin kamu."

WHY?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang