Third Chapter

680 51 2
                                    

Dan, hari barupun tiba. Aku memasuki kelas dengan sebisa mungkin tidak terlihat sehabis menangis semalaman.

"Pagi, Naomi!"

"Pagi, Artha." Aku tersenyum. Artha langsung mengembangkan senyumnya. "Wah, cuma karena gue invite BBM lo, lo jadi hafal gue!" Oke, aku rasa ia berlebihan. Karena, beberapa temanku sekarang mengerubungiku lagi. Pertanyaan mereka semuanya sama.

"Inget gue gak?" Atau, "Tau gue gak?" Untungnya ada yang sedikit pengertian, ia menyambar ke tengah-tengah kerumunan dan mengatakan aku harus duduk terlebih dahulu. Dan ketika aku berbalik, ia Gilang.

"Thanks udah ngebebasin gue dari mereka." Ucapku sekedarnya. Yang lain masih menatapku dan Gilang, kurasa mereka mulai kesal terhadapku, tetapi,

"Naomi, kalo udah selesai sama Gilang samperin kita ya!" Ucap Kezia, teman-temannya tersenyum ke arahku.

"Naomi, nanti kalo lo sama Gilang udah selesai ngobrol, yuk!" Ajak Artha.

Gila, aku benar-benar tak menyangka semua teman kelasku baik begini. Tanpa sadar, aku menarik ujung bibirku, melengkungkan sebuah senyuman.

"Loh, cewek jutek bisa senyum juga?" Oh shit, aku baru sadar Gilang masih di bangku depanku.

"Terus, masalah lo kalo gue senyum? Takut kecantol ya lo?" Ketusku.

"Gila, udah jutek, baka, pede banget lagi!"

Aku tidak menghiraukannya. Aku memasang headset di telingaku dan mulai membaca novel favoritku, Sunshine Becomes You.

"Wow, cewek jutek bacaannya yang roman roman ya." Aku tidak menggubrisnya. Walaupun terdengar, setidaknya kedok headset ini menipunya. 15 menit kemudian kelaspun dimulai. Pelajaran pertama sudah diisi dengan guru yang membuat rasa kantukku menjadi-jadi. Astaga, rasanya aku ingin keluar dari sini. Namun, akhirnya aku melanjutkan membaca novel tanpa mendengarkan musik.

"Sekian pelajaran dari saya, ada yang mau ditanya?" Akhirnya, kelaspun berakhir. Dan kalian pasti tahu reaksi kami. Yap, tidak ada yang bertanya. "Oh iya, kemarin ada murid baru ya?" Guru ini memang membuat emosional sekali, ya. "Siapa namanya?" Tanya guru itu. Sumpah aku berharap semuanya menjawab, jadi aku tak perlu repot-repot maju ke depan untuk diintegrosi oleh guru boring ini. "Naomi Arata, pak." Jawab teman-teman sekelasku. Untung saja. "Oh, Naomi. Kalo gitu, semoga kamu betah ya disini. Ngomong-ngomong, nama Bapak Guntur." Teman-teman sekelasku langsung bersorak. "Modus, pak!" "Bapak genit!" "Inget anak istri, pak" "Pak jangan pedo pak" Aku hanya bisa menanggapi dengan tawa kecil dan tanpa sadar, Gilang memerhatikanku sedari tadi. Aku tak ingin merasa canggung, jadi aku buang saja pandanganku.

Oh, iya, guru ini sangat... susah dijelaskan. Aku mengetahui namanya. Aku mengetahui mukanya. Dan bagaimana jika aku mengetahui kematiannya? Tapi kupikir salahku juga karena tidak memberitahu orang-orang kalau aku dikutuk mempunyai kekuatan seperti ini. Dan tiba-tiba aku mendengar suara perempuan yang menggumamkan nama seseorang. Crap, itu dimulai hari ini dan siapa nama orang itu? Tuhan... semoga bukan Ibu atau Ayah.

Aku menjalani hari-hariku dengan lesu. Sungguh, tiada niatan untukku berbicara dengan orang manapun. Bahkan menatap wajahnya seperti alergi bagiku. Aku terlalu takut, suara perempuan itu kini makin jelas dan aku masih belum mengetahui suara siapa itu dan siapa nama yang ia sebut.

"Hey, cewek jutek. Kok lo diem terus? Tobat ya?" Aku hafal suara ini. Aku hafal sapaan ini. Nggak, Gilang. Jangan ajak aku ngobrol. Aku benar-benar ingin sendiri. "Hey, cewek jutek. Jangan diem terus, kesambet aja lo." Jangan sekarang, Gilang... "Naomi, lo kenapa?" Runtuh sudah dinding pertahananku. Aku mulai menangis tak karuan. Tak peduli dengan orang-orang di taman sekolah yang kini mulai menatapku.

"Baka!!! Naomi terkutuk! Naomi pasti terkutuk. Siapa sih nama yang cewek itu sebut? Siapa cewek itu? Heh, Gilang, lo gak bisa jawab kan? ARGH!" Aku mulai kehilangan kendali. "Naomi!" Gilang berkali-kali memanggilku tapi persetan, aku memilih kabur dari sekolah dan tidak pulang ke rumah. Namun dimanapun aku berada, suara itu menghantuiku. "Tuhan... ini menakutkan." Bisikku lirih.

Aku sudah berada di tempat yang tidak kuketahui namanya, dan sepertinya... aku nyasar! Astaga, ini tempat apa? Selagi bingung mencerna kemana langkahku membawaku pergi, suara perempuan itu masih menghantuiku. Kini nama yang ia sebut kian jelas.

"Jonathan."

Aku tercengang. Jonathan adalah teman sekelasku. No, tidak mungkin. Jangan sekarang. Demi Tuhan aku belum siap. Di tempat antah-berantah ini, suara perempuan itu tetap menggangguku. Suara perempuan yang paling dekat dengan Jonathan. Astaga, Jonathan, dimana kamu? Aku harap kamu ada di rumah dan akan baik saja!

"Naomi-chaaan!" Panggil sebuah suara. Aku tak dapat menatapnya jelas, namun ia melambai-lambaikan tangannya. Aku membalas lambaiannya sambil tersenyum. Ketika ia bergerak mendekati, aku mengenal wajahnya. SIAL! Itu Jonathan! Kini suara perempuan itu sangat jelas dan nyata, juga terasa dekat.

"Jonathan mundur!" Aku teriak sekuat mungkin. Ia mundur beberapa langkah dan betul saja, sebuah truk lewat dengan kecepatan super kencang. Suara perempuan itu hilang! Aku sempat melihat air muka Jonathan. Ia begitu kaget dan shock. Apalagi aku? Yang kalau tidak cekatan akan membahayakan nyawa temanku sendiri. Membayangkannya saja membuat kepalaku pusing. Seakan tersadar dari kekagetannya, ia berlari mendekatiku yang mulai terduduk lemas di pinggir jalan.

"Naomi... lo kenapa?" Ia menopang tubuhku, dan itu adalah kalimat terakhir yang aku dengar sebelum sesaat semuanya menjadi gelap.


tbc

StrangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang