Fifteenth Chapter

469 39 8
                                    

"R... R... Rrl... L... L! L! Yosh, aku bisa!" Terdapat rona merah di pipinya itu. Cih, aku iri padanya. Dia sedikit, sedikit sekali, sedikit lebih putih dariku. Pasti faktor cuaca Jepang. Dibandingkan dengan Indonesia, hell, no.

"Dulu, bukannya aku nolak ke Indonesia. Tapi, aku mau kasih tahu kamu sesuatu yang bagus dan adanya di Jepang. Kamu malah maksa, dan pas kamu gak berhasil maksa aku, kamu lari buat pulang tapi terpeleset terus jatuh. Aku sempat dengar teriakan kamu, jadi aku ke arah suara. Ternyata kamu gak sadarkan diri, darah di kepala juga banyak. Aku panik, jadi aku lari.

"Dan saat di rumah, ada Jii-san dan Baa-san. Aku tanya dimana kamu, Kaa-san dan Tou-san, tapi mereka malah nyuruh aku masuk kamar. Saat mereka ngobrol di luar, aku coba denger apa yang mereka omongin, mereka ngomongin kamu, kamu di rumah sakit, kamu sakit parah. Katanya kamu sampe amnesia. Aku sedikit bersyukur, karena kamu amnesianya masih belum banyak ingatan. Tapi aku sedih, kamu harus lupain aku. Apalagi saat pulang, Tou-san dan Kaa-san gak langsung bawa kamu.

"Hari kemudian, aku ikut ke rumah sakit. Tapi pas kamu liat aku, kamu ketakutan. Ya, mungkin karena kamu gak ngenalin aku lagi. Kamu pasti Cuma kenal Tou-san dan Kaa-san. Merekapun juga tetep bersikukuh pindah ke Indonesia. Karena aku takut kamu gak kenal aku, aku lebih milih tinggal di Jepang."

"Baka." Bisikku perlahan.

"Saat Tou-san balik lagi ke Jepang, aku senang. Tapi ternyata itu karena orang tua kita cerai. Aku langsung merengek-rengek mau ke Indonesia, tapi Tou-san melarang. Kayaknya dia gak mau aku ketemu kamu. Aku iri sama kamu, Naomi. Kamu sangat disayang sama orang tua kita. Kamu yang dibela, mereka bahkan gak mau dengar penjelasan aku. Mungkin memang udah takdirnya juga."

"Kalo itu bener, gomenasai Nii—"

"Naomi? Naomi kamu kenapa?!" Aku melihat jasadku. Kejang-kejang. Lah? Sepertinya aku sehat-sehat saja. "Naomi, maafin abang. Abang gak bermaksud bikin kamu kayak gini!"

"Panggil dokter dong, bodoh banget."

"Kamu kenapa nangis, Nao?" Aku melirik mata jasadku. Terkatup, namun mengeluarkan air mata. Kenapa nih gue?

"Panggil dokter, bego. Duh." Si Naoki seakan tersentak, ia langsung keluar. Aku mengikutinya. Ia berlari-lari di koridor sambil berteriak memanggil dokter.

"Bodoh banget dah. Dokter kan banyak. Entar kalo dokternya keluar semua gimana? Bodoh!" Aku berteriak. Naoki mendatangi meja yang aku tak ketahui meja apa. Mungkin yang biasanya mendaftar nama pasien. Aku menghampirinya.

"Sus, tolong jasad gue dong, kejang-kejang tuh. Hiks. Hiks." Aku pura-pura menyeka air mata.

"Gak berubah ya lo." Aku mendecak. Ada orang lain yang bisa melihatku? Aku menoleh.

"Terus kalo gue gak berubah— NATHAN?!" Aku membelalakkan mataku. Menutup mulutku yang terbuka lebar saking kagetnya.

"Hey Nao. Kaget?"

"Iyalah! Astaga, kenapa lo ninggalin gue cepet banget?!" Aku menangis dan tidak tahu bagaimana cara membedakan ini tangis sedih atau bahagia.

"Butuh pelukan?"

"Emang bisa?" Aku tertunduk sambil menyeka air mata yang terus terusan keluar. Tiba-tiba, tubuhku menghangat. Ia memelukku.

"Bisa kan? Jangan nangis lagi dong, udah ada gue nih."

"Lo beneran apa nggak sih?" Tanyaku disela tangis.

"Menurut lo, lo beneran gak? Entahlah, mungkin ini kebetulan. Gue tiba-tiba aja ada disini."

"Gue mau ikut elo..." Ucapku pelan.

"Hah?" Ia melepaskan pelukannya. Jahat. "Gak. Lo gak bisa dan gak boleh, oke?"

StrangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang