Twenty-Second Chapter

345 27 11
                                    

*lap debu menempel* wah, its been four months (or more?) since i didnt write anything to update this story. gue minta maaaaaf banget, pasti feelnya udah ilang. tapi gue gak mau ngerasa punya utang, jadi nikmatin dulu ya 22nd chapternya, karena di akhir bab gue bakalan curcol juga wkwk.

---

Hanya ada hening yang lumayan panjang antara kami dengan orang yang mengaku Ibu kandungnya Melvina. Ia hanya tersenyum menatapi kami dengan tatapan sulit di artikan. Tapi, entahlah, menurutku seperti psikopat. Dia nyaris mencelakakan anaknya, bukan? Dan dia masih sempat bermuka dua di depan kami?

"Saya denger semua yang tadi kalian obrolin." Ucapnya membuka percakapan.

"Apa semua itu bener, Tan?" Aku berinisiatif bertanya, untuk menghilangkan pikiran negatifku.

"Hmm, gak juga. Karena sebenernya dia tau penyebab kita cerai." Aku mengerutkan dahiku.

"Dia siapa?" Tanya Artha mewakilkanku dan Evelyn, sepertinya.

"Laki-laki yang tadi ngejelasin semua itu ke kamu."

"Oh, mantan su-"

"Nggak, bukan. Saya gak pernah punya suami kayak dia." Buset, galak amat.

"Ee, ehe, oke. Jadi alesan sebenernya apa Tan?" Tanyaku.

"Dia selingkuh sama perempuan yang tadi."

"Hah?!" Pekik kami berbarengan, lagi. Wow, Ibu kandungnya Melvina punya kemampuan untuk membuat kami terkaget-kaget dalam waktu kurang dari lima menit. Give applause.

"Saya cuma gak pingin Melvina hidup sama wanita sialan yang ganggu rumah tangga saya, saya mau Melvina sama saya. Dan saya ninggalin dia waktu itu karena saya mau cari kerja. Kalian jangan sampe berpikiran kalo saya sengaja ninggalin Melvina. Saya sayang banget sama dia." Awkward. Ibu kandungnya Melvina kini mulai menangis. Apa yang kami harus lakukan, coba? Memberinya tissue dan menenangkannya dengan 'jangan nangis dong Tante', begitu?

"Tante, apa Tante tau kalo Melvina... leukemia?" Tanya Evelyn. Ibunya Melvina tampak terkejut. Lalu matanya berubah sendu lagi.

"Saya bener-bener gak tau." Ia tersenyum miris. "Tapi saya harap, saya bisa ngelihat dia mati sebelum dia bener-bener tersiksa." Aku menggebrak meja dan berdiri.

"Tante ini ibu macam apa sih? Anak Tante kena leukemia dan Tante memperparah keadaannya dengan cara nabrak dia!" Ups, aku berteriak. Pengunjung resto ini pun menatapku bingung. Aku hanya bisa cengengesan. Perusak momen, aku sedang marah-marah namun ujungnya cengengesan. Aku berdeham dan kembali duduk. "Oke, maaf teriak-teriak."

"Gapapa, saya ngerti refleks kamu. Kamu pasti udah sayang banget ya sama Melvina? Sampe ibu kandungnya aja kalah." Ibunya Melvina tertawa renyah. Dan dalam penglihatanku, ia terlihat seperti penyihir jahat sekarang ini. "Menurut kamu, saya harus lanjut berusaha ngebunuh Melvina atau harus berbuat baik?"

Aku mundur selangkah. Maksudku, sepantat. Atau apalah. Yang jelas aku mundur menjauhi orang di seberang kursiku, karena baru sekali ini menemukan ibu-ibu gila seperti ibu kandungnya Melvina. Dan kurasa Evelyn peka terhadapku, karena ia langsung menjawab pertanyaan ibu ini,

"Menurut aku, Tante berbuat baik aja." Kualihkan pandanganku ke Ibunya Melvina. Ia menatap Evelyn bingung.

"Apa alesan kamu ngomong kayak gitu?" Tanyanya dengan nada yang menurutku belagu. Saat kulihat Evelyn, dia hanya diam dan kurasa kebiasaan buruknya kambuh-yaitu lemot.

"Karena Tante sayang sama Melvina." Artha buka suara. "Tante sayang sama Melvina tapi gak tau cara ngungkapin yang bener. Maksudnya, Tante malah pingin Melvina meninggal, padahal Tante ngerasa kalo Tante belom ngelakuin sesuatu yang bener."

StrangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang