Epilogue

355 25 6
                                    

brace yourself for 4.4k words of epilogue!

---

"Nao, lo gak mau siap-siap?" Tanya Naoki dari luar kamar.

"Ngapain ngomong di luar sih, masuk aja santai." Kataku.

"Astaga, dasar pemales! Lo bahkan belom mandi?" Tanya Naoki setelah membuka pintu dan menghadirkan sosok seorang Naomi dengan rambut awut-awutan dengan kantung mata yang kontras dengan kulit pucat belum makan dan mata yang merah.

"Berisik. Lo gak usah protes kalo gak bantuin tugas gue." Kataku kesal.

"Mau aja sih gue bantuin, tapi kerjaan gue kan gak gitu." Dia tertawa sambil ngeloyor pergi, sama seperti Gilang.

Ouch.

"Ugh, ngeselin banget sih tugas kayak gini. Persetaaan!" Gue teriak dan kebablasan, Ibu sampe ngomel-ngomel. Setelah minta maaf sekedarnya aku bergegas menuju kamar mandi dan bersiap-siap.

---

Pintu diketuk. "Naomi, udah siap belom lo?" Tanya Naoki.

"Udah, bentar lagi!"

"Gue tunggu di mobil."

"Iya berisik amat."

Sedikit sentuhan lagi dan, siap. Aku langsung menghampiri Ibu untuk pamit, lalu menghampiri Naoki yang sudah kuanggap saudara kembar sekaligus supir.

"Tumben lo keliatan kayak cewek?" Tanya Naoki setelah aku duduk di kursi sebelah supir.

"Kampret, selama ini gue dandan kayak apa? Banci?" Kataku panas.

"Banci mah kebangetan." Naoki tertawa. "Biasanya kan lo kayak mucika— eh nggak, sumpah becanda!"

"Sinting lo!" Aku menjambaki rambutnya yang sudah terbalur gel rambut. "Makhluk terkampret."

"Lo juga kampret ya, pret!" Ia bercermin dan merapikan rambutnya. "Ini rambut udah gue tata bagus-bagus buat ketemu Artha nih."

"Tau dah yang udah pacaran mah emang beda. Sialan lo."

"Sampe kapan lo mau suka sama dia?" Aku terdiam. Naoki menatap lurus ke depan sambil menyetir. "Udah lima tahun, Nao. Kan kemampuan lo juga udah ilang. Mungkin yang Helen ceritain waktu itu berlaku kalo kemampuan lo belom ilang."

"Apaan deh, emang gue lagi mikirin Gilang? Sotoy amat." Bohong. Naoki benar. Tidak hanya memikirkan Gilang, aku memikirkan kemana ia pindah? Semenjak selesai UN, rumahnya kosong begitu saja. Di sekolah pun juga sama. Hanya ada Tante Gita yang mengambil hasil ujian Gilang.

"Keliatan kali." Oke, bagus. Aku hampir lupa kalau kita kembar. Sudah pasti Naoki merasakannya, bukan melihatnya.

"Ugh, oke. Terus salah gue kalo gue masih suka sama dia? Gue juga gak bakal nyangka kemampuan sialan itu ilang. Masa karena kemampuannya ilang, jodoh gue diganti gitu aja?" Aku mulai kesal. "Terima aja sih, lo jangan kayak anak kecil dong. Umur lo udah 23. Lo gak bisa terus-terusan memohon biar hidup sejalan sama kemauan lo. Jadi, Naomi," Naoki menatapku, "jalan ke depan ya. Jangan nengok ke belakang terus." Dia menatap jalanan lagi.

Naoki, sekali benar. Dan sangat benar. Tapi disin ilah permasalahannya. Semakin otakku berusaha untuk melupakannya, semakin hatiku sakit.

---

"Halooo!" Aku menghampiri sahabat kampretku.

"NAOMIII!" Seru Artha heboh. Iyalah heboh, palingan juga, "abang lo mana?"

Aku memutar bola mata. "Bisa gak sih lo liat dulu ke belakang gue? Gak malu nanyain terang-terangan?" Aku menunjuk ke arah belakang. Dahi Artha mengerut dan matanya mengikuti telunjukku.

StrangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang