Sixth Chapter

513 42 7
                                        

Bolos itu bukanlah hal yang cukup mudah. Memanjat gerbang sekolahku ini cukup membuat otot-ototku tertarik. Tapi siapa yang peduli? Aku hanya ingin minggat dari sini. Aku muak.

—-

          Baru saja aku akan memasuki gerbang rumah, tiba-tiba handphone ku berdering.

          "Halo?"

          "Halo, Nao-chan, ini Ayah." Mataku langsung berbinar-binar.

          "Ayah!" Aku memasuki gerbang dengan segera dan masuk ke rumah.

          "Hehe, Nao-chan kangen Ayah dan Ibu ya?"

          "Huhu, kangen banget! Ayah sama Ibu kemana sih?"

          "Kita lagi bulan madu... hahaha"

          "Jahatnya! Terus, kalian bulan madunya dimana?"

          "Di Jepang loh... kamu ikut gak? Eh, nggak boleh deh. Kan ini acara orang-tua." Lalu terdengar suara Ibu tertawa di kejauhan. Ayah pasti tersenyum jahil penuh kemenangan saat ini.

          "Ih, sok muda deh! Kalian udah dua bulan lebih rujuk dan baru bulan madu sekarang? Lagian, emang sebelum ada Nao Ayah sama Ibu gak bulan madu?"

          "Hm... bukan urusan anak kecil deh kayaknya. Udah ya Nao-chan. Sayang, ada yang mau kamu sampein gak?" Lalu terdengar grasak-grusuk telepon dipindah tangan-kan. Ah, Ibu yang berbicara... telinga, kamu harus siap!

          "Nao-chaaaan!" Kan, kubilang apa.

          "Iyaaa, Kaa-chaaaan~"

          "Kamu gak boleh telat bangun apalagi telat makan, oke? Kalo gak ada bahan makanan, kamu minta tetangga sebelah aja, Ibu udah kasih tau mereka. Lagian, anaknya ada yang satu-sekolah sama kamu kok! Oh iya, tidur jangan larut..." Bla bla bla, Ibu merapalkan mantra-mantranya dengan sangat lancar. Aku hanya bisa mengiyakan. "Ngerti kan, Nao-chan?"

          "Iya, Kaa-chan. Bilang Tou-chan jangan lupa oleh-oleh buat Nao, kalian hati-hati. Aishiteruuu, Kaa-chan, Tou-chan!" Lalu aku mematikan telepon. Kalau tidak kumatikan, bisa saja telingaku menerima ceramah lagi.

          —-

          Aku bosan, dan benar-benar bosan. Catat ini, aku belum pernah merasa sebosan ini. Aku ingin makan tapi, duh... tubuh ini menuntut untuk beristirahat sejenak saja. Eh? Kalimatku barusan bisa saja kujadikan kutipan yang, yah, tidak keren-keren amat. Cukup keren, untuk diriku sendiri. Aku bangun dan duduk menghadap meja. Entah mengapa meja ini terasa berbeda.  Lalu aku mengambil secarik kertas dan mulai menodainya dengan tinta pulpen yang menurutku... keberadaannya asing sekali.

          Tangan ini menuntut untuk digenggam

          Mata ini menuntut untuk ditatap

          Hati ini menuntut untuk diisi

          Rambut ini menuntut untuk dibelai

          Bibir ini menuntut untuk dicumbu

          Jantung ini menuntut untuk didebar-debarkan

          Badan ini menuntut untuk dipeluk

          Jiwa ini menuntut untuk dicintai

          Jiwa ini... kesepian

          Selesai! Aku membaca ulang dan, wow. Apa aku punya bakat terpendam untuk menjadi puitis semacam ini?!

          "Tangan ini menuntut untuk digenggam... mata ini menuntut untuk ditatap. Gimana kalo gue lakuin itu secara bersamaan?" Aku menoleh. Sial!

          "Gila ya lo! Ngapain lo disini?"

          "Emang gak boleh?"

          "Setidaknya masuk rumah orang yang sopan kek."

          "Lah, elo yang seharusnya sopan. Ini kamar gue." Aku melotot. Aku melihat sekitar dan SIAAAL! Aku ada di kamar seorang Gilang Julian! Saking fokusnya menelepon dan karena merasa kesal, aku jadi salah masuk rumah! INI MEMALUKAN!

          "Oh my... maaf! Gue gak tau astaga. Haduh, gak sengaja Lang serius!"

          "Gue maafin lo. Lagian... yah, salah juga sih udah tinggal sebelahan, rumah kayak kembar siam." Jadi, maksud Ibu tetangga sebelah adalah Gilang?! Hidupku...

          "Hehe..." Aku malah cengengesan.

          "Liat puisi lo." Gilang tiba-tiba menarik kertasku— ralat, kertasnya.

          "Eh, jangan!" Aku berusaha menutup-nutupi, namun sialnya, aku seperti kurcaci! Aku baru sadar, dia tinggi sekali.

          "Hm... bagus juga nih puisi. Itu bibir lo menuntut untuk dicumbu siapa? Gue ya?" Aku melototinya dan menginjak kakinya. Sukses untuk membuat dia meringis.

          "Gue kan bosen, makanya gue bikin itu. Lo punya makanan gak?"

          "Punyalah, tapi gue pelit."

          "Wah jahat lo, tega banget deh bikin gue kelaperan."

          "Salah sendiri bolos, udah enak disekolah bisa makan di kantin." Aku terdiam. "Dibilang, jangan nyalahin diri lo terus-terusan. Batu deh lo dibilangin. Apa perlu si Jonathan nyamper lo dan jelasin kalo ini bukan—"

          "Eh lo punya mulut bisa dijaga gak sih? Lo punya otak dipake gak? Hah?! Gak tau etika banget deh lo." Aku ngeloyor pergi. Aku benar-benar kesal dengan Gilang. Membicarakan orang mati adalah hal tersensitif di telingaku, apalagi sampai berbicara kalau... ah sudahlah!

—-

          Aku pulang dengan tangan kosong. Karena otakku sudah buntu, aku akhirnya menelepon pizza. Kupikir, sudah lama setelah aku makan pizza. Kalau tidak salah, terakhir itu 1 tahun yang lalu. Untuk seorang maniak makanan, itu waktu yang termasuk lama. Dan setengah jam kemudian, bel rumahku berbunyi.

          "Ya, sebentar!" Teriakku dari dalam rumah. Dan setelah kubuka pintunya...

          "Naomi!" Apa?! Kenapa mereka datang kesini?

          "Hey kalian. Ngapain?"

          "Nih, nganterin pizza lo." Artha langsung menyodorkan kotak pizza itu kepadaku.

          "Loh, makasih. Abangnya mana?"

          "Kita suruh pulang!" Ujar... entah siapa namanya aku lupa.

          "Eh, nama lo siapa by the way? Sorry banget gue lupa, hehe" Aku jujur.

          "Ah jahat! Gue Evelyn, Nao." Ia mengerucutkan bibirnya. Lah, aku kan anak baru jadi wajar dong. Tiba-tiba aku teringat sebuah tips.

          "Bukan-bukan, maksud gue nama belakang lo." Matanya langsung berbinar.

          "Frasya!" Dengan semangat dia mengatakannya.

          "Oh iya, sorry lupa, Lyn. Eh iya, jadi bahas nama gini, ayo masuk Tha, Lyn!"

          "Hahaha, santai aja lah Nao." Jawab Artha.


tbc

berhubung 2 part sehari, jadi yang ini dibikin agak pendek hehe :3

StrangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang