Twentieth Chapter

502 48 8
                                        

Setelah memasuki jam tiga pagi, kami bertiga memutuskan untuk pulang. Acara menjenguk Melvina diakhiri dengan acara tangis-menangis kami, terlalu banyak perasaan yang meluap-luap namun hanya air mata yang bisa menjelaskannya.

Dan, kabar buruknya, aku harus pulang ke rumah. Karena handphone-ku mati dan charger tertinggal. Untungnya tadi saat pamit dari rumah Helen, aku sempat bilang aku mungkin tidak jadi menginap. Jadi, aku akan tidur sampai, entahlah, matahari menduduki tempat teratas, mungkin?

Oh iya, karena rumahku paling dekat dari rumah sakit (sebenarnya jarak rumahku dan rumah sakit ini cukup jauh, namun Artha dan Evelyn lebih jauh lagi), Artha dan Evelyn menginap di rumahku. Aku akan meminjamkan mereka baju, dan segala keperluan lainnya karena kami harus mandi.

Oke, sesampainya di rumah, gerbangku terbuka setengah dan lampu masih menyala terang. Jangan bilang Naoki tidak memberitahu mereka? Atau jangan-jangan Naoki memfitnahku kabur dari rumah?!

"Keluarga lo suka ngalong Nao?" Tanya Artha sambil melepas helmnya.

"Gak kok. Gak tau ini kenapa." Jawabku sambil mendorong gerbang agar terbuka lebih lebar lagi, agar Artha dan Evelyn memarkir motornya di halaman rumahku. Dan gerbang ini mungkin menyita perhatian Ayah dan Ibu karena mereka sampai keluar.

"Dari mana aja kamu Nao?!" Bentak Ibu. Aku sedikit kaget.

"Kenapa?" Tanyaku dengan nada datar.

"Kamu abis ngapain jam segini baru pulang?! Ini siapa?!" Tanya Ibu dengan muka siap meledak.

"Apaan sih? Emang masih peduli?" Tanyaku masih dengan muka minta ditampar.

"Naomi, abang lo ilang." Aku menoleh ke sumber suara. Ternyata ada Gilang, dan keluarganya juga. Aku menaikkan sebelah alisku.

"Terus masalahnya sama gue apa?"

"Dia ilang karena mau nyari kamu! Lagian kamu kenapa kabur juga sih?" Bentak Ibuku lagi.

"Lah? Orang tadi aku udah pamit sih ke dia."

"Ayah gak mau tau, kamu harus bantu cari dia." Aku melotot horror.

"Ayah apaan deh. Dia kan udah gede, masa gak tau jalan pulang sih."

"Dia di Indonesia belom lama, Naomi. Ayah gak mau tau. Ayah sama Ibu udah capek nyarinya. Itu Om Elang sama Gilang juga udah bantu. Sekarang giliran kamu."

"Dih? Kalo capek ya diemin aja! Gak usah punya anak kalo gak mau ngurusin!"

Satu tamparan lagi mendarat di bibirku. Aku yakin Ayah meninggalkan bekas yang sama seperti beberapa waktu yang lalu. Artha, Evelyn, Gilang, Anggi, Om Elang dan Tante Gita menatapku—dan keluargaku—shock.

Aku menyeringai. "Udah minta bantuan, nyiksa pula. Gak bakal gue cari anak kesayangan lo itu." Aku berjalan menuju luar gerbang. Tidak menghiraukan panggilan Ayah dan Ibu yang menyuruhku untuk menuruti kemauan mereka. Saat sampai di luar gerbang, aku mengangkat suara.

"Tha, Lyn, lo disini aja. Gak usah ikutin gue. Lo juga Lang."

Lalu aku berjalan menuju suatu tempat di mana rasa letih fisik dan batinku terobati.

Getting high is my only solution, bitches!

---

Bar malam ini ramai sekali. Kurasa mereka sedang merasakan apa yang kurasakan. Stress? Sudah pasti. Ah, semoga kawan-kawanku ini tidak memiliki masalah yang lebih berat dariku, kan kasihan.

Aku memilih duduk di samping seorang cowok yang kurasa seumuran denganku, entahlah. Lampu disko disini benar-benar tidak bisa diajak kompromi dengan mataku, apalagi aku memang sudah capek dari awal.

StrangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang