Nineteenth Chapter [REPOST]

541 45 9
                                    

MAAF YA REPOST. SOALNYA TADI ERROR BANGET. yakali ada yang vote sama comment tapi yang baca 0 ._. makanya dihapus dulu hehe. ok, enjoy!

----------------

Aku memacu motorku dengan kecepatan setara dengan angin, mungkin? Karena panggilan dari telepon sangat sangat darurat. Dan aku harap aku tidak akan mendengar suara lagi nantinya.

Melvina kecelakaan. Dia jadi korban tabrak lari.

Entah siapa yang menabraknya, tapi, dasar sialan. Berani-beraninya menganggu sahabatku! Kalau aku sampai mendengar nama Melvina nantinya, aku akan cari orang itu dan meminta tanggung jawab. Terlebih lagi kalau orang itu Naoki, jangan harap ia masih bisa bernafas dengan tenang.

Sesampainya di rumah sakit, aku langsung menuju meja resepsionis untuk menanyakan lokasi ruang UGD. Dan untungnya tidak begitu jauh dari meja resepsionis. Di depan ruang UGD telah hadir keluarga Melvina, Artha dan Evelyn.

"Maaf, permisi—" Evelyn langsung menghambur ke pelukanku.

"Nao, Melvina Nao." Isaknya. Ah sial, kalau begini aku bisa menangis juga.

"Dia kenapa Lyn? Tadi suara lo di telpon gak begitu jelas." Ucapku sambil melepaskan pelukan.

"Gue tadi lagi telponan sama Melvina Nao... gue gak tau dia ternyata lagi di jalan. Sumpah gue bego, bego, bego!" Evelyn memukuli kepalanya sendiri. Artha langsung menghentikannya.

"Evelyn, lo jangan nyalahin diri lo dong." Bujuk Artha.

"Ya tapi emang kenyataan kan ini semua gara-gara gue?!" Pekik Evelyn.

"Lyn, lo jangan gitu. Pas Nathan... meninggal, lo bilang gue gak boleh nyalahin diri gue. Kenapa lo nyalahin diri lo?" Bujukku. Evelyn terdiam dan menatapku dan Artha bergantian.

Evelyn menundukkan kepalanya. "Gue mau mati." Ucapnya pelan.

"Jangan gila!" Pekikku dan Artha berbarengan.

"Tapi gue gak mau bunuh diri, gue takut kayak Naomi entar."

"Yaudah gak usah berpikiran pengen mati deh."

"Ya tapi—"

"Keluarga Melvina Renjana?" Dokter memotong pembicaraan kami bertiga. Keluarga Melvina pun segera bangkit dari duduknya dan kami juga sesegera mungkin menghampiri dokter.

"Melvina gimana, Dok?" Tanya wanita yang kutebak adalah Ibu—angkat—nya Melvina.

"Keadaannya memburuk, Bu. Kanker darahnya mempersulit kami menyembuhkan luka kecelakaannya. Saya khawatir Melvina tidak mampu bertahan, tapi sebaiknya kita semua berdoa dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan."

"Kanker... darah?" Gumam Artha.

"Oh iya, Melvina sudah bisa dijenguk. Tapi tolong sebisa mungkin jangan membuat kegaduhan, ya. Karena kondisi Melvina saat ini sedang tidak stabil."

"Terima kasih, Dok. Tolong usahakan yang terbaik untuk anak saya, ya." Kata pria yang kutebak adalah Ayah—angkat—nya Melvina. Dokter mengangguk, mempersilahkan kami memasuki ruang UGD lalu berlalu pergi.

"Maaf, boleh kami dulu yang masuk? Gak bakal lama kok." Kata Ibunya Melvina.

"Gapapa, Tante. Emang udah seharusnya." Jawab Artha sopan.

"Oke, kami masuk dulu, ya." Ibu angkatnya Melvina tersenyum lalu memasuki ruang UGD.

"Sekarang apa?" Tanya Artha. "Lo tadi denger kan?"

"Kanker..." Ujarku lesu.

"Coba gue gak nelpon dia. Coba aja. Bisa diputer gak sih waktunya? Gue takut Melvina kenapa-napa." Cerocos Evelyn. Aku tahu bagaimana rasanya. Tapi ia yang mengajariku untuk mencoba tidak menyalahkan diri sendiri. Jadi inilah saatnya aku balas budi.

StrangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang