DIUSIR

1.8K 103 7
                                    

Pada akhirnya Pelangi lebih memilih pergi dari rumah bersama dengan Cilla. Aku merutuki kebodohanku yang tak pernah bisa memberi keputusan. Sekali lagi aku menyakiti Pelangi. Menyakiti dia disaat dia mengandung anakku. Darah dagingku. Aku tak berhenti menyalahkan diriku sendiri, bahkan aku tak bisa menahan dan melarangnya untuk pergi.

"Bisakah kamu memilih diantara aku dan Bulan?" Tanya Pelangi sebelum dia memutuskan untuk pergi meninggalkan aku.

"Pelangi... Aku ..."

"Jawab mas. Aku atau Bulan ?" Tanyanya sekali lagi, tanpa melihatku.

Aku menunduk. Aku tidak bisa menjawabnya. Aku tidak bisa memilihnya. Aku tidak bisa melepaskan Bulan, aku juga tidak bisa melepaskan Pelangi. Aku mencintai mereka berdua. Aku tau aku serakah. Aku tau aku bodoh, tolong jangan menyalahkanku. Aku tidak bisa melepaskan keduanya, aku ingin terus bersama dan memiliki kedua wanita yang begitu berharga untukku. Maing-masing dari mereka memiliki arti tersendiri untuk hidupku, mereka saling melengkapi hari-hariku.

"Maka ijinkan aku pergi. Karena aku tau siapa yang kamu pilih." Kata Pelangi melangkah keluar dari kamar.

"Sayang ..." Kutari tangannya sebelum dia membuka pintu kamar kami.

"Kumohon, akhirilah sekarang. Jangan menggantungkan lagi pernikahan ini. Sudah cukup kamu menggantungkan aku dulu. Jangan lagi sekarang. Biarkan aku menemukan jalan hidupku sendiri. Seperti aku membiarkanmu memilih jalan hidupmu sendiri." Ucapnya sambil menghempas tanganku dan meraih Cilla dalam gendongannya dan menarik koper keluar kamar kami.Selanjutnya aku tak melihatnya lagi.

Aku menangis di dalam kamarku. Aku tak mampu untuk berlari mengejar Pelangi. Kakiku terasa lumpuh seketika. Aku sungguh tak pantas untuk perempuan sebaik Pelangi. Kudengar dari dalam kamarku, keluargaku menangisi kepergian Pelangi. Namun mereka tidak mampu menahan Pelangi karena mereka menyadari bahwa aku sudah cukup menyakiti Pelangi.

*****

"Sayang, aku buatin kopi nih. Diminum dulu." Kata Bulan.

"Terimakasih." Jawabku singkat.

Ya ! Keluargaku mengusirku dari rumah. Kali ini tidak ada lagi maaf dari keluargaku. Bahkan papaku memukuliku berkali-kali hingga lebam di wajahku belum hilang di hari kedua saat aku memutuskan pergi dari rumah. Jika dulu kakakku berusaha mencegah papa memukuliku, kali ini tidak ada seorangpun yang melarang papaku memukuliku. Dan aku ? Tentu saja aku tak membalasnya, selain karena dia papaku, orang tuaku, aku juga menyadari kesalahanku.

"Dasar anak kurang ajar !" Hardik papaku sambil memukul wajahku.

"Pergilah kamu dari rumah ini !" Perintah mama.

"Ma ..... "

"Mama sungguh sangat kecewa padamu, kali ini kamu sudah bukan anak mama lagi." Kata mama dengan suara bergetar.

"Tapi ma .... "

"Mama tidak sudi memiliki anak yang tidak punya hati dan perasaan seperti kamu. Pergilah. Dan kembalilah jika mama sudah diujung kematian."

"Mama ..." Aku bersimpuh pada kedua kaki mamaku.

"Jangan pernah menginjakkan kakimu di rumah ini lagi!" Kata mama sambil berlalu yang diikuti oleh papa.

"Makan diluar yuk. Aku lagi males masak nih. Lama juga kan kita enggak jalan-jalan bareng muter-muter Semarang ?" Ajak Bulan.

Aku tidak menjawabnya. Aku hanya menatap Bulan sekilas. Entah kenapa aku tidak lagi berdebar saat berada di dekatnya, dulu setiap aku bersamanya kurasakan kebahagiaan yang begitu mendalam. Tapi saat ini hanya dingin yang kurasakan. Tak lagi ada kehangatan saat aku bersama Pelangi. Aku merindukan Pelangi, Cilla, dan anak dalam kandungan Pelangi.

dua cincinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang