Aku menggeret koperku keluar dari Bandara. Hari ini aku baru tiba dari Seoul, Korea. Setelah mengikuti acara penghargaan Arcasia architecture award. Dan sekaligus memenangkan penghargaan bergengsi itu.
Begitu turun dari pesawat, udara panas Jakarta yang menyengat menerpa kulit. Perbedaan cuaca antara Jakarta dan Seoul cukup mencolok. Hingga mantel tebal yang kupakai terasa aneh dilihat orang dan juga di tubuhku.
Aku keluar dari Bandara terminal 2 dan mencoba mencari taksi yang akan membawaku kembali ke rumah, saat seorang pria paroh baya beruban menghampiriku.
"Pak Hardjo?" Aku memandang bingung pada pria paroh baya itu.
Pak Hardjo supir di keluarga Samodro, aku cukup mengenalnya. Kenapa dia bisa ada disini?"Mas Mahe, saya disuruh jemput sama bapak. Katanya mas Mahe disuruh langsung ke rumah."
Bapak yang dimaksud adalah Tuan Samodro. Aku mengangguk lalu mengikuti pak Hardjo menuju mobil yang terparkir di area parkir bandara.
Aku tidak ingin bertanya dari mana Tuan Samodro tahu jadwal kepulanganku ke Indonesia. Atau kenapa beliau menyuruh supir pribadinya untuk menjemputku begitu aku tiba di tanah air.
Segala macam jawaban telah terjawab di kepalaku. Tuan Samodro telah mengetahui hubunganku dan putrinya. Dan sekarang beliau memanggilku pastilah untuk menanyai kebenaran itu. Entah apa yang akan aku hadapi nanti, aku telah mempersiapkan diriku.
Hampir sebulan aku tidak bertemu dengan Clarissa. Sejak kejadian malam itu setelah acara makan malam dengan perkumpulan arsitek Indonesia. Dia tidak pernah menelponku dan juga tidak mengangkat telponku. Tidak pernah lagi datang ke rumahku atau kantorku. Bahkan bila aku datang berkunjung dengan kedok menengok ibu, ia tidak pernah menampakan dirinya. Seolah ia memang sengaja menghindariku.
Hal ini membuat aku bertanya-tanya apa ia ingin mengakhiri hubungan kami atau sengaja 'menggantungku' seperti ini. Jika mengingat perjanjian kami belum ada 3 bulan. Atau karena kata-kataku malam itu?
Mobil yang kutumpangi membawaku langsung ke rumah keluarga Samodro. Dan Pak Hardjo memberitahuku kalau Tuan Samodro sudah menungguku di ruang kerjanya. Setelah menitipkan koper dan mantelku aku menuju ke ruang kerja Tuan Samodro.
Aku mengetuk pintunya dan suara dari dalam menyuruhku masuk. Tuan Samodro duduk di kursinya, ia memberi isyarat agar aku duduk di depannya. Mengamatiku dari balik meja kerjanya.
"Bagaimana acara penghargaannya? Sukses?" Maksudnya adalah apakah aku sukses membawa pulang penghargaan itu. Aku mengangguk.
"Alhamdulillah.. sukses."
"Sudah berapa lama kamu menjadi arsitek? lima tahun?Enam tahun? Hanya dalam kurun waktu selama itu kamu sudah banyak mengenal arsitek-arsitek hebat yang merupakan senior kamu di bidangnya ya." Tuan Samodro mengelus-elus dagunya.
"Kamu bahkan mengenal Sulistyo Rahman. Pemilik Maharaja arsitektur. Kamu tahu kalau saya sama Sulistyo itu teman SMA waktu di Singapore?""Pak Sulis juga memberitahukan itu pada saya." Aku menganggukan kepalaku. Sepertinya pembicaraan mulai mengarah ke hal yang sudah aku duga.
"Oh, iya. Kalian kan ketemu saat acara makan malam persatuan arsitektur Indonesia kan? Saya sempat kaget waktu dia bilang, calon menantu saya salah satu arsitek muda berbakat di Indonesia. Yang sudah banyak meraih berbagai penghargaan di ajang nasional mau pun internasional." Tuan Samodro membuka kotak cerutu Kuba yang ada di atas meja kerjanya, menawariku satu yang langsung ku tolak. Melihat penolakanku dia cuma angkat bahu dan menyalakan cerutunya sendiri.
"Sudah berapa lama kamu pacaran sama anak saya?"
"Dua bulan.." Apa selama sebulan ini kami tidak bertemu masih bisa dianggap kalau kami masih pacaran? Anggap saja begitu.
"Apa yang kamu suka dari Clarissa? Karena dia cantik? Atau karena... statusnya?"
Aku membalas tatapan tajam Tuan Samodro padaku. Ini lagi. Hal yang pernah aku alami, akan kembali terjadi padaku.
"Maksud bapak?"
"Saya tidak melarang kamu pacaran dengan anak saya. Clarissa bebas pacaran dengan siapa saja. Asalkan hal itu tidak dibawa ke jenjang yang lebih serius." Tuan Samodro memainkan cerutu di tangannya. "Karena itu, saya harap sebelum hubungan kalian terlalu jauh, bisa saya minta agar kamu menjauhi anak saya?"
"Kenapa? Karena status saya?" Aku menaikan alisku. Kalau saja aku tidak memiliki titel sarjana, bukan seorang arsitek dan tidak memiliki kantor arsitektur sendiri, mungkin saat ini aku sudah ciut menghadapi pengusaha sekaliber Hendro Samodro. Tapi aku bukan lagi orang rendahan. Status sosialku lumayan terpandang di masyarakat sebagai seorang arsitek, aku memiliki usaha sendiri dan juga uang selain statusku yang anak dari pembantu di rumahnya.
"Kamu sudah mengerti rupanya. Ibumu, bekerja di rumah ini. Banyak kolega saya yang tahu kalau ibumu ART di rumah ini. Saya tahu kamu sudah sukses sekarang. Punya mobil, rumah, kamu tidak kekurangan uang. Bahkan kamu pemilik dari kantor arsitektur kamu sendiri. Saya tahu kamu sering mendapat proyek-proyek bergengsi dan kenal banyak orang hebat lainnya. Saya yakin kamu bisa dengan mudahnya mendapatkan gadis cantik di luaran sana untuk dijadikan kekasih. Secara garis besar, kamu sebenarnya calon menantu idaman. Tapi sayang, kamu bukan calon menantu idaman buat saya. Jadi tidak masalah kalau kamu melepaskan Clarissa kan."
Aku mencibir dalam hati. Betapa pintarnya Tuan Samodro menggunakan kata-kata halus untuk menghinaku. Dalam artian lain, aku tidak sepadan untuk putrinya!
"Apa hanya karena status ibu saya yang membuat anda menolak saya menjadi calon menantu?"
"Kamu harus berpikir secara realistis, Mahesa. Saya tidak ingin menjadi bahan cibiran para kolega saya karena berbesan dengan ART saya sendiri. Kamu pasti tahu bagaimana pentingnya reputasi bagi pengusaha seperti saya."
"Saya mengerti. Tapi apa anda pernah melihat ibu saya sebagai seorang manusia? Bukan sebagai ART yang anda anggap derajatnya lebih rendah dari anda? Apa anda pernah melihat betapa hebatnya ibu saya, yang meski cuma seorang ART tapi berhasil mendidik saya dengan sukses? Membuat saya menjadi seperti sekarang ini? Ibu saya jauh lebih hebat dari anda yang kaya sejak lahir, karena beliau berjuang seorang diri dengan darah dan keringatnya untuk menyekolahkan saya. Jadi anda tidak berhak menghina ibu saya hanya karena beliau cuma seorang ART. Karena meski bukan seorang Presiden direktur di perusahaannya sendiri, tapi beliau jauh lebih hebat dari anda!"
KAMU SEDANG MEMBACA
YOU ARE (END)
RomanceMahesa sudah terbiasa dihina, terbiasa ditolak orang tua gadisnya saat tahu bila ia cuma anak seorang pembantu. Meski sekarang ia pria yang cukup mapan, seorang arsitek muda berbakat yang karyanya bahkan diakui dunia Internasional. Tapi itu tidak me...