Aku munafik?

1.4K 178 1
                                    

"Suzeete sama Hailey lagi di Jakarta. James dan Collin juga, mereka ngajak ketemuan malam ini. Besok mereka berangkat ke Papua," kata Arlan di telpon. Aku melirik layar komputer yang sedang menampilkan berita pertunangan Clarissa dan Aidan, yang entah sudah berapa puluh kali aku baca.
Di foto itu, Clarissa mengenakan gaun warna gold yang menarik. Dia masih secantik biasanya, tapi sorot matanya terlihat sedih. Sedih?

"Jam berapa?" tanyaku. Mereka berempat yang disebutkan Arlan pasangan asal Inggris, yang kami temui saat di Nepal. Aku menatap foto Clarissa, apa benar ia merasa sedih? Atau cuma khayalanku saja? Tapi kenapa aku merasa tatapannya terasa kosong?

"Jam tujuh. Elu bisa dateng kan?"

"Gue usahain."

"Mereka pengin ketemu elu. Secara di antara kita bertiga elu satu-satunya yang udah pernah ke Papua. Mereka pengin nanya-nanya tentang Papua sama elu."

"Itu 5 tahun yang lalu." Aku mengklik layar komputer dan menutup gambar itu, hingga kembali ke tampilan wallpaper komputer. "Elu kan tahu sendiri Papua udah banyak berubah sekarang. Banyak pembangunan dalam kurun 5 tahun itu."

"Ya... gak apa-apalah, cerita aja apa yang elu tahu berdasar pengalamanlu 5 tahun lalu. Mereka juga bilang dari Papua mereka bakal langsung nyebrang ke Papua new guinea."

Selama lima menit aku masih mengobrol dengan Arlan. Ia menyebutkan night club tempat mereka nanti malam mau kumpul
lalu menutup telpon.

Malamnya sesuai janji sepulang kerja aku langsung pergi ke night club yang disebutkan Arlan di telpon. Saat aku datang, mereka sudah kumpul dan ku lihat Bayu juga ternyata datang.

Kami memesan minuman dan makanan ringan untuk menemani obrolan kami. Aku banyak ditanyai tentang situasi dan kondisi Papua saat ini yang ku jawab sesuai pengetahuanku.

Di tengah obrolan aku pamit ke toilet. Dan sepertinya semesta memang sedang menakdirkanku untuk selalu bertemu dengan Clarissa. Dalam perjalanan menuju toilet, aku bertemu Clarissa yang sedang diseret Aidan dengan kasar ke tempat yang sepi.

Aku mengernyitkan alis, firasatku buruk. Tanpa banyak berpikir aku mengikuti Aidan, ingin tahu mau dibawa ke mana Clarissa.

Ternyata Aidan membawa Clarissa keluar night club. Tepatnya ke lorong belakang yang sepi. Melihat cara Aidan menyeret Clarissa yang kasar, aku curiga bajingan itu ingin menyakiti Clarissa. Dan dugaanku terbukti, aku melihat tangan Aidan terkepal mau memukul Clarissa. Aku cepat bertindak, meraih tangan Aidan yang mau memukul Clarissa dan melayangkan pukulanku ke perutnya.

Clarissa berteriak tertahan melihat Aidan terjatuh ke belakang sambil memegangi perutnya. Aidan berusaha bangkit dengan wajah merah padam karena marah.

"Sialan!"

Ia mencoba membalas pukulanku, tapi bukan hanya tidak berhasil aku juga berhasil kembali mendaratkan pukulan di tubuhnya yang membuat Aidan kejengkang dan langsung jatuh pingsan.

"Kamu gak apa-apa?" tanyaku pada Clarissa yang masih berdiri dengan wajah pucat dan kaget, aku tidak peduli dengan keadaan Aidan yang pingsan karena pukulanku. Hanya tanganku sakit karena memukulnya.

"Nggak pa pa." Clarissa melirik Aidan yang tergeletak pingsan lalu menatapku. "Kamu sudah bikin masalah. Kamu bisa dituntut karena pemukulan."

"Tidak masalah. Kalau tidak ku pukul, dia yang bakal mukul kamu."

"Tapi tetap saja... kamu udah mukul dia. Harusnya kamu gak usah ikut campur."

"Aku gak bisa ngebiarin cowok bajingan kayak dia mukul cewek.
Apa kamu lebih suka aku diam aja dan ngebiarin kamu di pukul?"

"Aku bisa nanganin hal itu. Kamu gak usah khawatir."

"Gimana caranya kamu nanganin orang yang mau mukul kamu?Dengan ngebiarin dia memukul kamu? Dia itu cowok, dari segi fisik aja sudah gak sebanding sama kamu."

"Kamu gak perlu tahu gimana cara aku nanganin itu. Aku gak suka kamu ikut campur dalam masalahku ini."

"Masalah kamu ini serius, Cla. Dia belum jadi suami kamu tapi udah berani main tangan, apa dia sering ngelakuin hal itu sama kamu? Dia udah sering nyakitin kamu?"

"Bukan urusan kamu!" Nada suara Clarissa agak kencang, ada nada dingin dalam suaranya. Dia menatapku masam. "Buat apa kamu sok peduli sama aku?Bukankah kamu selama ini gak suka sama aku? Aku muak dengan sikap sok baik kamu sama aku, Sa.
Sok perhatian dan baik, tapi sebenarnya kamu sama aja kayak cowok-cowok lain yang udah nyakitin aku."

"Kamu... kamu bahkan lebih buruk dari mereka semua. Seenggaknya mereka gak bersikap sok baik sama aku. Tapi kamu... bersikap sok baik dan perhatian... berakting layaknya kekasih sempurna, tapi sebenarnya kamu diam-diam nyakitin aku! Aku benci kamu, Sa.
Aku benci kamu!"

"Cla.."

Terlambat, gadis itu menepis tanganku yang terulur hendak menyentuhnya. Menghapus air matanya dan berlari pergi, meninggalkanku yang termangu sendiri.

YOU ARE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang