Pertemuan tak disengaja

1.4K 190 1
                                    

Aku kembali memandangi rinai hujan dari balik dinding kaca kantorku di lantai 2. Hujan semakin deras dan aku semakin tenggelam dalam lamunanku.

Clarissa, apa aku sudah jatuh cinta padanya? Sejak kapan?Kenapa aku tidak bisa melupakan bayangan gadis itu? Bukankah awalnya aku cuma main-main saja dengannya?

Dari awal, aku memang tidak pernah serius menanggapi perasaan gadis itu. Aku tidak pernah tertarik untuk berhubungan lebih jauh dengannya, apalagi berpikir sampai ke jenjang pernikahan segala.

Di mataku, Clarissa hanya gadis kecil yang kaya dan manja. Tapi kepolosannya membuatku tertarik. Aku yang terbiasa bermain dengan banyak wanita, pertama kalinya bertemu gadis sepolos dan semurni Clarissa. Yang seluruh tubuhnya gemetaran saat kusentuh.

Meski hanya sebulan kami menjalin hubungan, tapi tidak kusangka, kehadiran dirinya teramat kuat di hatiku. Membuatku sulit bernapas.

Dan saat aku membaca berita pertunangan Clarissa itu, aku tahu pintu untukku telah tertutup rapat. Hendro Samodro telah mendapatkan apa yang dia inginkan. Calon menantu idaman dan calon besan bermartabat yang tidak akan membuatnya menjadi omongan dan cibiran orang dalam pergaulan kelas atas.

Calon besan yang tidak akan dipandang rendah dalam tatanan masyarakat yang menyebut diri mereka high society. Masyarakat kelas atas. Calon besan yang juga sama berpendidikannya seperti dia, yang juga lulusan perguruan tinggi luar negeri.

Kita hidup di jaman apa sekarang ini? Abad berapa sekarang? Tapi bahkan di jaman modern yang disebut milenia ini, status dan derajat seseorang masih ditentukan oleh kekayaan dan pendidikan mereka.

Sungguh seperti lelucon yang tidak lucu, aku yang berpendidikan tinggi dan berhasil  dalam karir tidak bisa menghapus stigma yang terlanjur melekat di diriku sebagai anak pembantu.

"Carilah calon istri dari keluarga biasa saja, Sa. Tidak perlu dari keluarga kaya yang orang tuanya berpendidikan tinggi dan mentereng. Cari istri yang orang tuanya tidak akan menghina kamu, menghina ibu yang seorang pembantu. Istri dari keluarga biasa yang berhati baik, yang bukan hanya sayang sama kamu, tapi juga sama keluarga kamu semacam ibu ini."

Ucapan ibu terngiang-ngiang di telingaku, yang beliau ucapkan sebelum kepulangannya ke Madiun. Ibu mungkin tidak akan pernah lagi menginjakan kakinya di Jakarta, beliau juga menolak untuk tinggal bersamaku. Sepertinya ibu sudah terlanjur kecewa dengan keluarga Samodro.

Tapi ibu tetap meninggalkan pesannya untukku. Untuk mencari istri yang baik, jangan yang dari kalangan atas, yang orang tuanya bakal memandang ibu yang mantan pembantu, orang kampung dan tidak berpendidikan tinggi. Aku tentu saja juga tak ingin ibu selalu dihina. Karena itu aku lebih rela meninggalkan wanita yang aku cintai demi ibu, daripada mendengar hinaan orang tua gadis yang kucintai.

"Ngelamun aja dari tadi." Suara Arya membuyarkan lamunanku.
Ia melangkah masuk ke kantorku dan duduk di sofa. Aku cuma mendengus gusar tak senang, sebal saat sedang berintim ria dengan pikiranku malah terganggu dengan mahluk astral bernama Arya.

"Hujannya deres banget ya, dingin-dingin gini enaknya makan bakso. Mau gak?"

"Nggak. Masih kenyang. Baru juga makan siang," kataku. Baru jam dua, dia sudah lapar lagi? Dasar perut karung.

"Gue perhatiin semenjak pulang dari Amrik elu jadi sering ngelamun. Patah hati, Bos?Udahlah, yang udah berlalu biarin berlalu. Dia udah jadi milik orang.
Cari yang baru, Boss."

"Elu berisik, Ar. Ganggu."

"Cih, gue ngomong apa adanya. Baru kali ini gue ngeliat elu kayak gini. Biasa-biasanya kalo putus juga biasa aja. Apa elu beneran cinta sama Clarissa ya?"

"Bukan urusan lu. Udah sana, gak ada kerjaan apa? Gue sibuk." Aku mengusir Arya yang gak jelas. Aku sedang ingin sendiri. Dia malah datang mengganggu. Sungguh bikin kesal saja.

"Waduh, si bos marah. Oke deh bos, gue pergi. Cuma mau ngingetin, entar malem ada ketemuan sama Pak Robin panjaitan di Sofia jam 7 malem. Jangan lupa bos, soalnya besok Pak Robin mau terbang ke LA."

"Iya. Gue gak lupa. Bawel. Udah, keluar sana."

Arya langsung pergi setelah ku usir. Hujan masih deras. Aku kembali melayangkan pandanganku pada layar komputer. Melihat gambar design yang hampir 90 persen selesai ku kerjakan. Aku harus menyelesaikan gambar design ini yang nanti malam harus aku tunjukan pada pak Robin. Aku kembali memusatkan perhatianku dan menyingkirkan segala keresahan di belakang kepala.

**********

Malamnya jam tujuh tepat aku sudah berada di Sofia at gunawarman untuk makan malam bersama Pak Robin. Makan malam sekaligus menunjukan hasil designku untuk pembangunan rumah barunya yang baru dia beli di daerah kelapa gading. Rumah lama yang mau dia renovasi total.

Beliau ingin rumah barunya itu bernuansa istana Versailles yang ada di Prancis. Karena saat berkunjung ke sana bersama istrinya, istrinya sangat mengagumi istana itu dan ingin memiliki hunian seperti istana Versailles. Tentu saja itu bukan proyek main-main.

Setelah diskusi panjang, kami mulai makan malam. Pak Robin memesan foei grass sedangkan aku memesan baked barramundi. Minumnya chichago smash dan scrub breeze. Kami berbincang-bincang sambil makan malam.

"Kamu gak ada niat untuk pindah kantor, Mahesa? Kantor arsitektur kamu sudah lumayan terkenal kan? Klien kamu juga banyak dari kalangan atas. Masa dengan kantor sekelas kantor kamu, kamu masih nerima klien di ruko. Saya yakin kamu bisa menyewa kantor yang lebih prestisius dari yang sekarang."

"Ada niat sih, Pak. Tapi belum nemu tempat yang cocok," kataku yang sudah kenal lama Pak Robin. Gaya bicaranya memang blak-blakan. Mungkin pengaruh darah tapanulinya. Tapi hatinya baik dan beliau juga salah satu pengacara terkenal di Indonesia.

"Kebetulan. Di gedung kantor saya ada satu lantai yang kosong. Kamu bisa nyewa di situ, letaknya tepat satu lantai di bawah kantor saya. Gimana, kamu minat?"

Kantor yang beliau maksud di daerah kuningan dan setahuku harga sewanya lumayan mahal.

"Jangan takut gak bisa bayar sewalah. Dengan jumlah klien kamu gak mungkin gak bisa bayar. Nanti saya bantu buat ngomong sama pemilik gedungnya biar dapat harga bersahabat. Gimana?"

"Boleh, kalau harganya cocok pasti saya ambil." Aku akhirnya memutuskan. Pak Robin nampak tersenyum puas.

Karena kami duduk dekat jendela,
sambil makan aku bisa melihat keluar jendela. Hujan deras tadi siang sudah berhenti, yang tersisa hanya jalanan yang basah.

Tanpa sengaja aku melihat ke arah pintu masuk. Sepasang muda mudi masuk ke dalam restauran. Dia adalah Clarissa dan tunangannya.

YOU ARE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang