Pembicaraan dengan Richard

1.3K 177 1
                                    

Aku mendapat telpon dari orang yang tidak terduga, Richard menghubungiku di kantor. Dia bilang ada proyek desain untukku dan ngajak ketemuan.

Ternyata proyek yang dia maksud adalah mendesain kedai kopi miliknya, bisnis baru yang mau dicobanya. Tempatnya merupakan sebuah rumah tua dengan halaman yang luas. Kira-kira luasnya sekitar 700 meter persegi. Karena rumah tua dia butuh renovasi gede-gedean.
Dan meminta jasaku untuk membantu desainnya.

"Apa rencananya elu mau rombak total? Ngerubuhin rumah lama dan bangun yang baru?" tanyaku sambil keliling melihat-lihat halaman dan keadaan rumah ditemani Richard.

"Gue sih penginnya tetap mempertahankan rumah lama, model rumah ini klasik. Kayaknya peninggalan Belanda."

"Iya. Sayang juga sih kalo dirubuhin. Kalo desain renovasi rumahnya sih bisa gue kerjain, tapi buat desain interiornya nanti gue suruh anak buah gue yang ngerjain. Karena itu bukan bidang gue."

"Apa desainnya bagus?" Richard nampak ragu.

"Jangan khawatir, anak buah yang gue maksud udah sering ngerjain desain-desain interior buat cafe dan restaurant. Kalo lu gak yakin bisa dateng ke kantor gue buat lihat contoh-contoh desainnya."

"Oke. Gue percaya sama elu."

"Nggak pa pa, elu pantas ragu. Meski gue temen Arlan, tapi kan elu belum lama kenal gue. Jadi wajarlah.."

Kami masih berbincang-bincang soal renovasi rumah dan desain untuk kedai kopi barunya. Ternyata selain kedai kopi, Richard juga memiliki showroom mobil dan bisnis delivery yang sudah memiliki cabang diberbagai kota di Indonesia. Karena selain paket dan surat-surat, jasa pengirimannya itu juga menjual tiket bus antar provinsi. Ya.. temannya Arlan memang tidak kaleng-kaleng.

Setelah dari melihat rumah yang mau dijadikan kedai kopi, Richard mengajakku makan siang di restauran yang menyajikan menu khas sunda. Kami memesan sayur asem, ayam bakar dan berbagai menu pepes yang berjejer di meja.
Tidak lupa sambal dan lalapan.

"Ada yang mau elu omongin sama gue?" tanyaku setelah kami selesai makan. Mengeluarkan sebungkus rokok dan membakarnya. Richard juga ikutan ngerokok.

"Elu peka juga ya."

"Terbiasa ngadepin orang." Aku angkat bahu. "Elu mau ngomongin apa?"

"Soal pacar gue."

Aku menaikan satu alis. "Alina?Kenapa sama dia?"

"Elu mantannya Alina kan?"

"Yap." Aku mengangguk, mengagumi sikap Richard yang to the point. "Terus?"

"Gue cinta sama dia, kami udah tunangan dan mau nikah tahun depan."

"Selamat kalo gitu. Terus hubungannya sama gue?"

Richard mengisap rokoknya kuat dan menghembuskan asapnya ke udara."Awalnya kami emang dijodohin, dikenalin gitu. Meski orangtua gak maksa tapi semakin gue kenal Alina, gue jatuh cinta sama dia."

Aku tak bersuara, tidak mencoba menyela ceritanya. Membiarkan ia menumpahkan segala unek-uneknya.

"Gue semakin cinta sama dia setelah gue mengenal kepribadiannya, sifatnya dan segalanya tentang dia. Sampai dalam taraf gue gak bisa hidup tanpa dia." Richard tersenyum kecil. "Dia segalanya buat gue. Gue belum pernah ngerasain hal kayak gini sama cewek-cewek lain. Cuma Alina, baru dia yang bisa bikin gue jatuh semakin dalam. Dan gue gak mau kehilangan dia."

Aku mematikan rokok ke asbak, masih tidak bersuara. Pelayan menghidangkan kopi yang kami pesan. Dan aku membakar rokok kedua.

"Apa elu pernah ngalamin perasaan yang begitu dalam sama seorang perempuan sampai titik di mana elu gak bisa hidup tanpa dia, Sa?"

"Belum." Aku menggeleng. "Mungkin nanti kalo gue ketemu cewek yang tepat."

"Gue merasa tolol. Kenapa gue bisa jatuh sedalam ini sama cewek yang jelas-jelas masih memiliki orang lain di hatinya?"

"Elu ngerasa tolol?"

"Gue berusaha ngegantiin sosok orang yang begitu special yang ada di hatinya, tapi gue rasa gue gagal. Sampai detik ini ternyata cuma orang itu yang ada di hatinya." Ada senyum getir di bibir Richard. "Kenapa elu putus sama Alina?"

"Kenapa gak tanya dia aja?" Aku balik bertanya. "Bukan ranah gue buat ngejawab."

"Elu masih cinta sama Alina?"

"Gue udah punya pacar kalo lu lupa."

"Clarissa ya? Cewek lu emang cantik." Richard manggut-manggut. "Apa itu artinya elu udah gak ada rasa sama Alina karena udah nemuin pengganti dia?"

"Elu udah tahu jawabannya." Aku menjawab santai. "Jadi elu ngajak ketemuan sama gue cuma mau mastiin gue masih ada rasa apa nggak sama cewek lu?"

"Nggak. Proyek tetep kok. Gue cuma pengin tahu kalo gue masih ada kesempatan buat menangin hati Alina."

"Jangan nyerah, bro. Elu pasti bisa.
Dan elu bisa pegang kata-kata gue, gue gak ada niat buat balikan sama Alina. Gue sama dia itu udah selesai. Kalo di hatinya emang masih ada gue, itu masalah Alina sama hatinya sendiri. Dan itu tugas buatlu menangin hati dia."

"Iya. Gue paham. Gue lega ternyata elu bukan saingan gue."

"Sampai kapanpun gue gak akan jadi saingan lu lah. Santai aja, bro. Gue bukan tipe orang yang suka ngerebut barang milik orang lain." Apalagi kalo barang itu sudah aku buang, sambungku dalam hati.

Selesai makan siang yang lagi-lagi Richard yang bayar, aku melangkah keluar restauran beriringan dengan Richard. Tapi tanpa diduga, di pintu masuk aku berpapasan dengan Clarissa dan Dean!

YOU ARE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang