Putus

1.4K 192 2
                                    

"KAMU..." Tuan Samodro sampai berdiri saking murkanya mendengar perkataanku. Cerutunya jatuh ke meja, mungkin nanti bakal ada bekas bakaran cerutu di meja kayu yang mahal itu. Tubuhnya gemetar, jelas menahan amarah. "Kamu berani menghina saya?"

"Bukankah anda yang lebih dulu menghina saya?" Aku ikut berdiri.
"Anda juga menghina ibu saya, sebagai orang rendahan. Anda melupakan jasanya yang sudah mengabdi di keluarga ini selama lebih dari dua puluh tahun."

"Kamu pasti merasa sangat bangga pada diri kamu sendiri ya, merasa sudah sukses. Punya titel, uang dan posisi. Kamu lupa atas jasa siapa semua itu hingga kamu bisa seperti sekarang? Apa kamu gak sadar kamu banyak berhutang budi dengan keluarga ini? Tapi yang kamu lakukan adalah mencoreng keluarga ini."

"Jika yang anda maksud dengan mencoreng keluarga ini karena saya berhubungan dengan putri bapak, anda jangan khawatir. Dari awal saya memang tidak berniat untuk serius dengan putri anda," kataku datar. "Tanpa anda minta, saya juga akan meninggalkan putri anda. Karena saya sendiri tidak mau punya mertua, yang memiliki pemikiran picik seperti anda."

"Kamu benar-benar berani ya."

"Tuan Hendro Samodro, anda ini lulusan luar negeri. Anda terbiasa dengan kehidupan modern dan pandangan moderat. Tapi tidak saya sangka, ternyata pikiran anda masih sangat picik. Anda masih mempermasalahkan status keturunan seseorang dalam memilih calon menantu. Anda terlalu bangga dengan status dan derajat anda itu."

"KAMU..." tangannya sudah melayang hendak menamparku saat tiba-tiba pintu ruang kerjanya terbuka dan Clarissa menyerbu masuk.

"PAPAH! HENTIKAN!"

Tangan yang sudah melayang hendak menamparku menggantung di udara. Sebenarnya jika tuan Samodro hendak memukulku aku juga tidak akan mengelak, tapi ke datangan Clarissa yang tiba-tiba menghentikannya.

"Papah, Cla mohon..." tangan Clarissa memegang lengan papahnya. "Ini bukan salah, Mahe. Cla yang salah, Cla yang lebih dulu mendekati Mahesa. Kalau papah mau marah,
papah marah sama Cla aja."

"Clarissa! Apa maksud kamu kalau ini salah kamu?"

Clarissa melirikku sekilas sebelum berbicara lagi pada papahnya. "Papah, selama ini. Clarissa yang deketin Mahesa, Clarissa yang ngejar-ngejar Mahesa. Clarissa yang maksain Mahesa buat nerima cinta Cla, jadi yang patut disalahin di sini itu Cla, papah."

"Kamu.. bagaimana bisa kamu serendah itu? Kamu bilang kamu yang ngejar-ngejar Mahesa?" Tuan Samodro melotot marah, antara percaya tidak percaya dengan pengakuan Clarissa barusan.

"Iya, papah. Jadi papah jangan marah lagi ya sama Mahesa. Mahesa gak cinta sama Cla, tapi Cla yang tetap memaksa Mahesa buat pacaran sama Cla, karena Mahesa gak enak sama keluarga kita..."

"Tapi sekarang Cla sadar, cinta memang tidak bisa dipaksakan. Cla bakal memutuskan hubungan ini, Pah."

"Kamu.." Tuan Samodro memijit pelipisnya mendengar pengakuan Clarissa. Mungkin beliau merasa kaget dan syok dengan pengakuan itu. Siapa sangka bila putrinya yang cantik bakal mengejar-ngejar anak pembantu yang statusnya di bawahnya.

Aku sendiri cukup kaget dengan pengakuan Clarissa barusan. Kenapa dia berbicara seperti itu di depan papahnya? Apa dia tidak peduli dianggap cewek murahan karena mengaku mengejar-ngejar cowok rendahan macam aku? Apa dia sengaja mempermalukan dirinya sendiri?

"Cla.." Aku mencoba bicara tapi dia segera memotong ucapanku.

"Mahesa, selama ini kamu tidak mencintai aku kan? Kamu cuma kasihan sama aku. Karena itu... mulai hari ini. Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Hubungan kita cukup sampai disini saja."

Tiba-tiba saja aku merasakan sakit di tubuhku yang lain...

*********

Dari jendela kantorku, aku melihat rinai hujan yang turun deras di luar. Aneh, ini bulan april. Yang harusnya sudah memasuki musim panas, tapi hujan malah turun dengan derasnya. Apa ini yang di namakan hujan di musim panas?

Enam bulan.. sudah enam bulan lamanya aku putus dengan Clarissa. Dan selama enam bulan itu banyak yang sudah terjadi.

Ibu yang sudah tidak bekerja lagi di keluarga Samodro dan memilih pulang ke Madiun, Clarissa yang ku dengar telah bertunangan dengan anak pengusaha perhotelan terkenal di Indonesia.

Ya, setelah peristiwa pertemuanku dengan Hendro Samodro, ibu memang memutuskan berhenti dari pekerjaannya. Dan meski keputusannya itu disambut dingin, tapi Tuan Samodro masih berbaik hati memberikan uang pensiun pada ibu yang tentu saja ditolak ibu. Meski miskin dan cuma seorang pembantu, tapi ibu memiliki harga diri yang tinggi.

Meski kecewa dengan sikap majikannya yang telah dianggap keluarga tapi ternyata malah memandang rendah dirinya, ibu menolak uang pensiun yang diberikan. Setelah berhenti, ibu memutuskan pulang ke Madiun. Lagi pula di sana, aku juga sudah membelikan ibu rumah, kebun dan sawah untuk ibu mengisi kesibukan. Meski sawah dikerjakan orang lain, tapi masih ada tambak ikan yang bisa diurus dan diawasi ibu, untuk mengisi segala kesibukannya.

Lalu aku yang pergi keliling Amerika selama sebulan, sendiri. Aku memutuskan travelling sendirian tanpa Arlan dan Bayu, dan memilih Amerika serta negara bagiannya ketimbang eropa. Aku juga sempat mengunjungi air terjun niagara di Kanada dan ikut kemping dua bule Amerika kenalanku di Yosemite.

Arya tidak mencegahku, karena selama traveling jadi backpacker pekerjaanku tidak terbengkalai. Asalkan ada laptop dan internet, aku masih bisa bekerja di manapun.

Saat di Amerika, aku juga sempat berkenalan dengan Jose, seorang pemuda Indian. Red cloud, nama julukannya. Si awan merah dan berkat dia, aku sempat merasakan menginap di reservat Indian. Tempat pemukiman khusus suku Indian yang di bangun pemerintah setempat.

Sebulan penuh aku lontang lantung di Amerika. Berkenalan dengan orang baru, mengalami cinta satu malam, mencoba rodeo, menggelandang di New york dan merasakan kehidupan suku asli Indian.

Tapi sejauh aku melangkah, satu wajah tidak pernah hilang dari benakku. Bayangan wajahnya terus menari-nari di pikiranku, terbayang di mataku dan bercokol kuat di hatiku.

Senyumnya, tawanya, harum tubuhnya dan rasa manis bibirnya, membuat tidurku gelisah. Dan semakin hari aku semakin menyadari ada kekosongan dan rasa hampa di hatiku.

Sejauh apapun kakiku melangkah, rinduku semakin erat terpatri di bayang wajahnya. Dan aku tahu, teramat sulit menghilangkan bayangan itu dari mataku, dari benakku dan juga hatiku.

"Clarissa..." gumanku pelan sambil memandang derasnya air terjun niagara di hadapanku. Seakan suara gemuruhnya dapat menghilangkan kerinduanku pada gadis itu.

YOU ARE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang