Tangisan Clarissa

1.5K 186 1
                                    

Aku melempar kunci mobil ke atas meja. Lalu menghempaskan tubuh ke sofa. Aku lelah, benar-benar lelah. Beberapa hari ini aku tidak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaanku. Design yang harusnya sudah selesai pengerjaannya tertunda karena tidak bisa fokus. Pertemuan dengan klien tertunda. Dan Arya yang uring-uringan melihat performaku yang tidak seperti biasanya.

"Gue gak tahu apa masalah lu, Sa. Karena elu gak mau cerita. Tapi ngeliat elu kayak gini bikin gue khawatir, bikin gue yakin kalo masalah yang elu hadapi lebih berat dari kelihatannya."

"Gue gak apa-apa. Cuma kecapekan."

"Terserahlah. Tapi gue minta sama elu, tolong jangan bawa masalah pribadi lu ke pekerjaan. Elu harus cepet nyelesai-in masalah lu biar gak berlarut-larut. Elu tahu udah berapa klien yang mengeluh? Kita mau pindah ke kantor yang lebih besar dan prestisius. Kalo performa lu kayak gini dan kita kehilangan banyak klien, kayaknya rencana itu harus ditunda."

Aku tahu apa yang dikatakan Arya benar. Pak Robin sudah menepati janjinya untuk membantuku mendapatkan sewa kantor dengan harga bersahabat.
Aku juga sudah melihat lokasi dan tempatnya. Kantor nanti memang tepat satu lantai di bawah kantor Pak Robin. Bahkan beliau yang masih ada di LA, bersedia menelpon pemilik gedung demi agar aku mendapatkan harga sewa yang bersahabat itu.

Dan setelah proses perjanjian sewa menyewa selesai, renovasi dan selain sebagainya itu, kami berencana pindah kantor bulan depan. Sewa kantor harus dibayar. Karyawan harus digaji. Semua itu butuh uang. Kalau aku tidak bisa fokus dan menarik banyak klien, uang dari mana untuk pemasukan kantor kami?Sedang uang itu dari klien.

Sebenarnya, penyebab tidak fokusku karena masalah Clarissa yang sampai sekarang mengganggu pikiranku. Sejak melihat Aidan yang ingin memukul Clarissa dan ku gagalkan, sejak itu aku makin mencemaskan dirinya. Apa itu bukan pertama kalinya Aidan menyakiti fisik Clarissa? Apa Clarissa sering menerima siksaan fisik dari Aidan? Kenapa gadis itu tidak mengatakan apa-apa pada keluarganya?

Karena aku yakin, bila Clarissa mengatakan pada keluarganya, tuan Hendro pasti akan bertindak. Dia tidak akan membiarkan putrinya disakiti. Aku benar-benar tidak mengerti dengan sikap diam Clarissa. Apa yang di pikirkan gadis itu?

Aku meraih laptop dan menyalakannya. Membuka design yang baru setengah ku kerjakan. Karena tadi sebelum pulang aku sudah makan, aku jadi belum terlalu lapar. Aku pikir dengan menyibukan diri dengan pekerjaan, mungkin pikiranku akan teralihkan dari memikirkan Clarissa.

Aku mulai sibuk dengan pekerjaanku, entah berapa lama aku sibuk saat tiba-tiba terdengar suara gedoran pintu yang cukup keras dari ruang tamu. Aku mengernyit bingung, siapa yang datang malam-malam begini dengan menggedor pintu depan rumahku begitu kencang? Sambil bertanya-tanya aku bangkit dan membuka pintu.

Sesosok tubuh langsing bergaun biru segera menyerbu masuk dan memelukku erat. Aku tertegun. Dari wangi parfumnya aku tahu siapa perempuan yang kini ada dalam pelukanku. Yang kini sedang memeluk dan menangis kencang di dadaku.

☆☆☆☆☆☆☆

"Minum dulu, Cla. Lalu ceritakan apa yang terjadi." Aku menyodorkan segelas air dingin ke tangannya. Wajahnya nampak kacau. Air mata masih mengalir di pipinya. Ia masih terlihat gemetar dan takut. Keadaannya saat ini sangat menyedihkan. Bahkan dalam keadaan seperti ini dia tetap terlihat cantik.

"Aku udah gak apa-apa." Clarissa meletakan gelas yang sudah ia tandaskan isinya ke atas meja.

"Siapa bilang kamu gak apa-apa?
Kamu tahu sekacau apa keadaan kamu sekarang? Apa yang udah dilakukan bajingan itu sama kamu?" Aku yakin keadaan Clarissa yang kacau ini disebabkan oleh Aidan. Karena terakhir kali kami bertemu, Aidan sedang mencoba menyakiti Clarissa. "Dia ngelakuin apa lagi sama kamu kali ini?"

Air mata Clarissa kembali mengalir deras. Aku tak tahan melihatnya. Meraih tubuhnya dan memeluknya erat. Tubuh Clarissa nampak tegang dan terdengar desisannya saat tanganku tanpa sengaja menekan punggungnya.

Aku melepaskan pelukanku, menatapnya tajam. Ada yang salah dengan dirinya. Clarissa menunduk tak berani menatapku.

"Dia nyakitin kamu?"

Clarissa tak menjawab, masih tak berani menatapku. Tapi ia tak melawan saat aku membuka ritsleting gaunnya dan melihat bilur kebiruan bekas pukulan di punggung putih dan mulus itu.

"Bajingan!" Aku menggertakan gigi marah. "Ku bunuh dia!"

"Jangan!" Clarissa memeluk lenganku erat. "Jangan, Sa. Kamu gak usah ngelakuin apa-apa."

"Dia udah nyakitin kamu, Cla. Dia berani mukul kamu."

"Nggak. Aku gak apa-apa. Aku gak mau kamu terlibat dalam masalah ini. Kamu gak tahu Aidan. Dia punya banyak koneksi,
dia bisa nyakitin kamu kalau kamu coba membantu aku."

"Aku gak takut."

"Tapi aku takut. Takut dia nyakitin kamu, terakhir kali kamu mukul dia..." Clarissa tak melanjutkan kata-katanya. Menatapku dengan mata dipenuhi air mata. Aku mengangkat alis. "Dia tahu siapa kamu. Dia ngerahin orang buat nyakitin kamu. Tapi aku berhasil cegah dia, hingga aku.. aku.."

"Sebagai gantinya dia nyakitin kamu."

"Dia cuma cemburu. Dia tahu kita pernah punya hubungan special.
Dia tahu.. itu sebabnya dia marah."

"Apapun itu dia gak berhak nyakitin kamu! Dan kamu gak perlu ngelindungin aku! Aku ini laki-laki, Cla. Laki-laki yang gak memerlukan wanita untuk melindunginya. Seharusnya akulah yang ngelindungin kamu.
Bukan sebaliknya!"

"Aku.. aku.."

"Aku gak akan diam aja ngeliat kamu disakiti kayak gini. Kamu tahu, ngeliat gadis yang aku sayangi disakiti seperti ini, hatiku sakit, Cla. Aku gak bisa cuma diam seakan kamu baik-baik saja.
Aku sayang kamu, Cla. Dan aku bakal melakukan apa saja untuk orang yang aku sayangi."

*****

YOU ARE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang