Awal perjalanan(end)

3.7K 210 9
                                    

"Bagaimana keadaannya dokter?" tanyaku begitu Dokter bedah yang menangani operasi Clarissa keluar dari ruang operasi, sebelum yang lain sempat bertanya.

"Kami berhasil menghentikan pendarahannya. Untunglah luka tusuk itu tidak mengenai organ vitalnya. Tapi pasien belum sadar."

"Kami boleh melihatnya, dok?" tanya Indira Samodro.

"Pasien belum sadar. Saat ini belum bisa di tengok. Kami akan menempatkannya di ruang ICU. Kalian bisa lihat dari luar."

"Tapi Clarissa bisa sembuh kan dok?" Kali ini Hendro Samodro yang bertanya. Wajahnya sama pucatnya seperti istrinya. Tiga puluh menit yang lalu Robin panjaitan datang lagi bersama Arya. Dia baru selesai dari polres mengurus kasus Aidan Lesmana sekaligus memberi keterangan padaku mengenai perkembangan kasus itu.

Aidan sudah ditahan bersama ketiga cecunguknya. Keluarga Samodro yang ikut mendengarkan keterangan Robin Panjaitan tidak berkata apa-apa.
Aku sendiri tidak terlalu peduli dengan reaksi mereka. Biar saja mereka tahu seperti apa Aidan itu.

Sebrengsek apa calon menantu keluarga Samodro.

Yang aku pedulikan hanya kondisi Clarissa. Dan aku merasa bersyukur di saat memiliki masalah seperti ini ada Robin Panjaitan yang membantuku. Aku percaya, Pengacara sekaliber Robin Panjaitan pasti bisa mengawal kasus ini sampai akhir.

"Masih terlalu dini untuk memastikan, Pak. Selama pasien belum sadar kami belum bisa memastikan. Tapi kami akan terus memantau kondisi pasien sampai pasien benar-benar sadar."

Aku menyandarkan tubuh di tembok dengan lesu setelah mendengar keterangan dokter. Meski keadaan Clarissa belum sadar tapi aku lega operasinya berhasil. Dia akan di pindahkan ke ICU dan kami hanya tinggal menunggu dia sadar.

"Sa, bisa kita bicara?" Jane berdiri di depanku. Aku menatapnya sekilas lalu mengangguk lesu. "Kita cari tempat yang agak sepi?"

Aku mengangguk lagi. Akhirnya kami berdua berjalan keluar, menuju lorong rumah sakit yang agak sepi di ikuti tatapan mata yang lain.

"Kejadian ini benar-benar bikin aku syok, Sa. Aku gak nyangka kalau Clarissa bakal ngalamin hal buruk kayak gini."

"Bukankah hubungan kalian dekat? Apa dia gak pernah cerita apa-apa sama kamu?"

"Clarissa agak tertutup akhir-akhir ini... semenjak putus sama kamu. Lalu dia tunangan sama Aidan. Tapi dia gak pernah cerita kalau Aidan suka nyakitin dia."

"Mustahil kamu gak tahu soal reputasi Aidan kan? Apa kalian pura-pura gak mau tahu?"

"Aku tahu, tapi aku pikir itu cuma rumor atau Aidan sudah berubah. Benar-benar sayang sama Clarissa. Karena Cla gak pernah cerita apapun sama aku."

"Bagaimana bisa jadi rumor kalau ada korbannya? Kamu sendiri dengar apa kata Pak Robin tadi. Korban Aidan banyak,
tapi kasusnya di tutup karena uang dan kekuasaan keluarganya.
Apa kamu pikir seorang iblis bisa dengan semudah itu berubah?"

"Kamu... benar-benar cinta sama Clarissa?"

"Aku gak bisa hidup tanpa dia."

"Tapi bukankah awalnya kamu cuma main-main saja sama dia?
Kalian bahkan bikin perjanjian tiga bulan..."

"Memang." Aku berkata getir. "Tapi aku gak bisa ngebohongin hati aku sendiri kalau aku sudah jatuh cinta dengannya."

"Aku bahkan gak peduli orangtua kalian gak setuju sama hubungan kami. Memang kenapa kalau ibuku seorang pembantu? Toh yang terpenting aku sekarang bisa sesukses ini berkat ibu. Persetan dengan pikiran ayahmu yang picik. Kalau beliau gak setuju, aku bakal bawa lari Clarissa. Kami bisa kawin lari."

"Kawin lari?" Jane nampak kaget mendengar ucapanku. "Gak perlu seperti itu, Sa. Aku pribadi gak masalah dengan hubungan kalian. Aku sendiri senang kalau ibu dan kamu jadi keluarga kami.
Kamu tenang aja, aku ngedukung kalian. Aku yang akan meyakinkan Papa, aku rasa Mama sama Mas Chris gak akan masalah. Tapi kamu harus janji gak berbuat nekat ya. Janji, Sa?"

Aku kembali mengangguk, tak ingin berdebat panjang dengan Jane.

"Sekarang yang penting kita tunggu sampai Clarissa sadar. Yang terpenting sekarang adalah keselamatannya."

Aku lagi-lagi hanya bisa mengangguk. Apa lagi yang terpenting sekarang kalau bukan keselamatan Clarissa?

*************
Satu tahun kemudian..

"Kamu sudah siap?" tanyaku sambil mengenakan topi di kepala Clarissa. Sementara rambut panjangnya digelung dan di masukan ke dalam topi. Ia mengenakan celana jeans, kaos dan jaket serta sepatu sneaker.

"Siap, bos." Clarissa nyengir lebar.
"Gimana penampilanku? Udah mirip backpacker sejati belum?"

Clarissa berputar di depanku, aku pura-pura serius mengamatinya.
Dalam balutan pakaian apapun ia tetap cantik. Meski yang ia kenakan bukan barang bermerk.

Hari ini kami berdua akan memulai petualangan kami ke Eropa. Mulai dari Eropa Timur. Sebagai bagian dari rencana bulan madu kami. Seminggu yang lalu kami resmi menikah. Dan aku minta cuti dua bulan pada Arya untuk bulan madu meski harus menghadapi omelan Arya, karena kali ini lagi-lagi dia harus menangani urusan kantor sendiri.

Meski sempat mengatai aku sebagai bos yang tidak bertanggung jawab dan mengancam bakal mogok kerja kalau tidak diberi oleh-oleh, toh dengan senyuman juga ia memberi ijin.

Ia tahu bagaimana beratnya perjuanganku mendapatkan Clarissa hingga akhirnya hubungan kami direstui dan berakhir di pelaminan. Karena itu meski pura-pura ngomel dia dengan senang hati memberi ijin.

"Mirip istrinya Mahesa yang cantik," kataku merangkul bahunya. "Kalau kamu secantik ini aku bakal extra jagain kamu dari mata-mata bongsang cowok-cowok di luaran sana."

"Aku juga harus extra jagain kamu dari mata para cewek lapar yang tertarik sama kamu. Jadi kamu gak akan bisa bergenit-genit sama mereka."

"Ngapain aku genit sama cewek lain kalau aku jalan sama bidadari?" Aku mencium hidungnya lembut. Hanya Tuhan yang tahu betapa bersyukurnya aku saat Clarissa akhirnya sadar dari komanya. Dan aku orang pertama yang dia lihat saat dia membuka matanya. "Tapi kita harus pesan satu kamar kalau begini, aku gak mau sekamar bareng-bareng sama orang asing karena saat ini aku membawa istriku."

"Kenapa?"

"Biar gak ada yang ganggu," Aku mengerling nakal. "Siapa tahu usai bulan madu kita bawa pulang dedek bayi di perutmu."

Clarissa nampak tersipu malu dan memerah. Ia masih sama seperti awal aku mengenalnya. Wajahnya akan memerah bila aku menggodanya.

"Aku cinta kamu Clarissa Samodro," kataku mencium bibirnya.

"Aku juga cinta kamu Mahesa." Ia balas menciumku.

Untuk pertama kalinya dalam hidup aku begitu bahagia memiliki orang yang kucinta. Dan ini akan menjadi langkah awal dalam perjalanan cinta kami.

End****

Terima kasih untuk para pembaca yang telah menyempatkan waktunya untuk membaca karya saya. Ini adalah karya pertama saya yang begitu banyak kekurangan. Tapi kedepannya saya akan berusaha untuk membuat karya yang lebih baik lagi baik dari segi tata bahasa maupun penulisan.

Sekali lagi saya ucapkan terima kasih buat yang sudah menikmati karya saya yang masih jauh dari segala kesempurnaan. Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi saya bila kalian sangat menikmati karya-karya saya dan meluangkan waktu untuk membacanya.

Akhir kata salam cinta untuk semuanya. Baca juga karya saya yang lain. Dan semua karya saya ini adalah cerita fiktif semata. Segala persamaan nama tokoh, tempat, serta plot hanyalah kebetulan semata.

Enjoy.



YOU ARE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang